Kotornya Sepak Bola Indonesia yang Tak Pernah Bisa Lepas dari Suap

MONEVONLINE.COM – Sejumlah pemain diduga terlibat percobaan suap pengaturan skor pertandingan sepakbola tersebut.

Terkait skandal tersebut, Komite Disiplin (Komdis) PSSI memutuskan lima eks pemain Perserang bersalah. Para pemain itu dilarang bertanding beberapa tahun serta denda puluhan juta rupiah.

“Kami melihat ini perbuatan yang sangat tercela, sangat merusak persepakbolaan Indonesia, nama klub dan PSSI. Beratnya hukuman tergantung peran dan keterlibatan masing-masing,” ujar Ketua Komdis PSSI Erwin Tobing dikutip dari Antara, Rabu (3/11/2021).

Sebanyak lima pemain mantan Perserang yang dikenakan sanksi oleh Komdis PSSI yaitu Eka Dwi Susanto, Fandy Eky, Ivan Julyandhy, Ade Ivan Hafilah dan Aray Suhendri.

Eka menjadi sosok yang mendapatkan hukuman terberat yaitu larangan beraktivitas di sepak bola selama 60 bulan (lima tahun) dan tak boleh memasuki stadion dalam rentang waktu yang sama, lalu didenda Rp 30 juta.

Eka disebut Komdis PSSI yang menjadi aktor utama pengaturan skor itu karena dialah yang pertama menerima telepon dari seseorang diduga “bandar” untuk mengalah dengan iming-iming hadiah uang sebesar Rp 150 juta. Eka pun mengajak teman-temannnya untuk ikut dalam praktik tersebut.

Kemudian, Fandy dihukum larangan 48 bulan (empat tahun) beraktivitas di sepakbola nasional, tak boleh masuk stadion dalam waktu yang sama dan denda Rp 20 juta.

 

Seperti diketahui, memasuki era 1960an, gosip pengaturan skor dalam pertandingan sepakbola adalah gosip yang gaungnya biasa terdengar dan meresahkan masyarakat.

Majalah ANEKA pernah membuat liputan mendalam soal merajalelanya tukang taruhan dalam edisi 1 Juli 1961. Hasil yang didapat dari liputan mendalam itu menunjukkan bagaimana pola dan kerja mafia bola di Indonesia saat itu tidak beda jauh dengan negara-negara lainnya.

Tukang taruhan waktu itu biasa disebut dengan sebutan “tauke”. Mereka mengincar pemain-pemain yang sekiranya bisa disogok. Tauke ini pintar sekali. Kendati tak ada pertandingan, mereka kerap memberi uang jajan yang cukup besar kepada pemain, dengan maksud buruk: jika ada pertandingan pemain punya utang moril kepada mereka. Satu hal yang sulit dipercaya adalah tauke tidak mendatangi para pemain, melainkan pemainlah yang mendatangi mereka untuk minta “ditaruhi”.

Dana yang digelontorkan tauke per kepala pemain berkisar Rp 1.000 sampai Rp 25.000 (atau bahkan lebih, tergantung seberapa besar uang yang ditaruhkan petaruh). Besaran nilai suap juga tergantung posisi pemain. Jika kiper tarifnya akan lebih mahal.

“Kiper yang nakal” tentu akan lebih sulit terdeteksi ketimbang bek, pemain tengah atau penyerang. Lagak kiper yang bermain dengan tauke itu bisa bermacam-macam. Mulai dari salah menempatkan posisi hingga pura-pura meloncat tapi timing-nya telat.

“Sudahlah, banyak sekali akal kiper-kiper ini, dan sekali lagi cuma buaya-buaya bola saja yang tahu apakah kiper ini jujur atau tidak,” tulis ANEKA dalam laporannya itu.

Selain kiper, posisi yang mudah dijadikan target bandar suap adalah bek dan penyerang. Seperti yang menimpa para pemain PSM Makassar. Kala itu PSM menjadi incaran para bandar karena di periode akhir 1950-an dan awal 1960-an mereka-lah yang menjadi penguasa sepakbola Indonesia. Dua kali juara berturut-turut menjadi bukti hegemoni klub Sulawesi Selatan itu.

Di Kejurnas PSSI 1961, peristiwa memalukan menimpa PSM — kelak orang akan lebih mengenalnya dengan “Peristiwa Surabaya”. Dalam lanjutan kompetisi yang digelar di Stadion Tambaksari, 17 Juni 1961, secara mengejutkan Persebaya yang kala itu tergolong anak bawang, berhasil menahan tim kuat PSM dengan skor 3-3. Padahal, saat pertandingan berlangsung tim kebanggaan Jawa Timur tersebut sempat tertinggal 1-3 dari pasukan Ramang.

Hasil ini disikapi kritis oleh berbagai pihak, terutama kepada barisan penyerangan PSM yang selalu membuang peluang dengan percuma. Isu bahwa Ramang terkena suap langsung menyebar di mana-mana. Untuk menyikapi persoalan ini, pengurus PSM membentuk tim investigasi internal. Setelah beberapa minggu penyelidikan, tim investigasi itu berhasil membuktikan isu pengaturan skor di laga melawan Persebaya itu ternyata benar adanya.

Peristiwa Surabaya itu disindir oleh majalah ANEKA no. 13 pada edisi 1 Juni 1961. Sementara liputan tentang hasil investigasi internal PSM Makasar berikut laporan mengenai skorsing yang menimpa Ramang dan Noorsalam diberitakan majalah tersebut pada edisi September tahun yang sama.

Tragisnya, dalam temuan tim investigasi internal PSM, pelaku pengaturan skor adalah Ramang dan Noorsalam. Dua pemain ini adalah bintang Makassar, langganan timnas dan dihormati di dalam tim. Ibaratnya, kedua pemain top itu seperti Lionel Messi dan Andres Iniesta di Barcelona saat ini. Beberapa bulan usai kompetisi, tanpa ampun PSM menjatuhkan skors seumur hidup, melarang kedua pemain ini berkecimpung di dunia persepakbolaan nasional.

Kehilangan Ramang dan Noorsalam membuat PSM kebingungan. Permainan mereka menjadi down, karena tak ada pemain yang bisa menggantikan peran vital mereka. Permainan “Juku Eja” secara kualitas jelas menurun. Tetapi aturan tetaplah aturan.

Kasus Ramang menjadi perbincangan yang hangat. Geram, kesal, dan kecewa, itu yang dirasakan masyarakat kepada PSSI yang lembek. Yang paling menarik dari kasus ini adalah investigasi justru dilakukan oleh klub, bukan oleh PSSI. Publik jengkel karena PSSI dianggap lamban, tidak responsif dan sama sekali tidak peka terhadap desakan publik.

Ketika hendak berlangsung Kongres PSSI ke-XXI yang digelar pada 28 Juni-2 Juli di Semarang, korps wartawan olahraga mengajukan petisi meminta agar PSSI bertindak tegas dan membahas pengaturan skor. Wartawan juga meminta pemerintah segera membuat undang-undang untuk mencegah terjadinya pelanggaran terkait pengaturan skor ini.

Jika ditilik korelasi dari kasus “Peristiwa Surabaya” dan “Yogyakarta”, didapat kesimpulan bahwa PSSI memang tidak pernah serius dalam mengatasi pengaturan skor. Terlihat proses investigasi sampai penjatuhan sangsi semuanya dilakukan oleh klub. PSSI hanya “ongkang-ongkang kaki” dan hanya tahu beres saja. Ironis memang, di tengah-tengah taruhan judi bola yang dibuka sebebas mungkin, dengan bandar dan petaruh yang keliaran bebas tak secara sembunyi-sembunyi, PSSI tidak mampu membongkar pengaturan skor yang terjadi.

Salah satu argumen kenapa PSSI terkesan diam saja adalah karena di masa itu, kewenangan PSSI banyak terpangkas oleh KOGOR [semacam KONI di masa sekarang]. PSSI yang diketuai oleh Abdul Wahab dan KOGOR yang dipimpin mantan penjaga gawang Maladi, akhirnya terlibat konflik seru terkait pengelolaan sepakbola.

Kelak, peristiwa tragis penyuapan itu kembali terulang, kali itu bahkan lebih memalukan karena menimpa hampir setengah skuat tim nasional asuhan Toni Pogacnik, yang dipersiapkan panjang untuk Asian Games 1962. Pogacnik sampai menangis tersedu-sedu di kantor polisi. Tapi skandal memalukan ini adalah cerita berbeda yang akan ditulis di artikel berikutnya.(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *