Monevonline.com, Transisi kain tapis era kemajuan industri sebagai alternatif meningkatkan pendapatan masyarakat memerlukan usaha maksimal pengrajin. Motifnya mesti berlandaskan cerita rakyat mau pun sejarah sehingga mengusik kesadaran.
Maestro Kain Tapis Lampung, Raswan bercerita, sejak muda tertarik menekuni sulam tapis. Dia keluar masuk museum dan kampung adat hanya untuk meneliti sosial budaya serta kain tapis.
Semangat Raswan membuahkan hasil. Pemahaman berdasar penelitian itu memunculkan ide-ide briliant bagi Raswan dalam menciptakan motif tapis.
Hasilnya menggiurkan. Raswan sampai mendirikan Institute yang fokus mempelajari kerajinan tersebut. Selain itu dia juga mendirikan galeri Kediangan Tapis.
Banyak produk tapis yang telah dihasilkannya. Kaos, peci, kemeja hanya sebagian kecil produk kediangan Galeri.
Raswan juga mengembangkan usaha penjualan dan penyewaan kain tapis untuk pernikahan. Namun berapa besaran biaya tak dapat dipastikan karena menyesuaikan kebutuhan.
Koleksi-koleksi Raswan Tapis juga telah menembus budaya internasional. Negara Belanda, Swiss, Turki hingga Iran telah memamerkan keindahan warisan lelulur ulun Lampung tersebut.
Tiap motif kain tapis Raswan berdasar penelitiannya ke kampung-kampung adat, lembaga adat hingga tokoh adat. Ini yang membuat tapisnya lebih elegant dan terkenal Limited Edition. Beberapa koleksi pun tak dijualnya demi cita-cita mendirikan Museum pribadi.
Sama seperti lukisan, kain tapis pun memerlukan kolektor agar hasilnya sebagaimana produk-produk Raswan. Pengrajin bisa mengilustrasikan kisah keruntuhan Sekala Bekhak menjadi motif-motif kain tapis yang mempesona.
Modifikasi motif kain tapis sendiri tak ada batasan, kecuali kain tapis yang kegunaannya khusus upacara adat.
“Saat ini bukan hanya perempuan yang mengenakan kain tapis. Laki-laki pun boleh menggunakan tapis, dan itu juga bisa berlaku dalam keseharian,” jelas Raswan.
Maestro tapis Lampung ini tergolong sukses sebagai pemerhati, peneliti dan praktisi. Namun dia belum menceritakan manajemen jual beli kerajinan tangan khas Lampung tersebut. Selain itu, dia juga “gereget”. Banyak orang Lampung yang justru enggan melihat peluang usaha kerajinan tangan ini. Justru potensi tapis sebagai pendapatan penghasilan jadi ladang bisnis para pendatang.
Peluang pendidikan pun muncul dalam wawancara Monev bersama Raswan Tapis. Raswan Institute memerlukan ilmu manajemen penjualan tapis. Bisa juga Raswan Institute menawarkan ilmu manajemen tapis untuk lembaga pendidikan atau perguruan tinggi mau pun tingkat sekolah menengah kejuruan.
Peluang yang lain adalah membangun museum khusus tapis. Secara pribadi, Raswan telah mencetuskan akan mendirikan museum sendiri. Selain itu, dia hendak menerbitkan buku tentang ragam tapis ciptaannya.
Peluang ini terbilang rasional mengingat koleksi Raswan diminati warga dan pengelola museum dunia.
Promosi budaya perlu digaungkan secara komersial guna menarik minat wisatawan, kolektor hingga peneliti internasional mau melihat warisan leluhur ulun Lampung. Akan tetapi promosi ini perlu terusan, dalam arti tidak bisa diselenggarakan hanya satu tahun sekali.
Namun saat ini, keaktifan “duta tapis Lampung” sudah tidak terlihat bahkan terdengar. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, kaum millenial tak mengenakan kaos, kemeja atau pernak-pernik bernuansa tapis.
Wajar ada anggapan masyarakat Lampung hendak melupakan kekayaan seni dan intelektual dari lembar-lembar kain tapis. Secara ekonomi, tanggapan alumni mahasiswa ekonomi, Chris Nababan terkait “perlu stimulan penjualan produk lokal” belum terjadi.
Beberapa oknum penjual pakaian bahkan lebih memilih melakukan plagiat atau membajak merk dagang luar negeri demi meraih keuntungan. Padahal peneliti Amerika Serikat telah menerbitkan buku tentang tapis. Selain itu, kolektor luar negeri rela menghabiskan uang demi mengoleksi ratusan kain tapis.
(Alfa)