Monevonline.com, Jakarta – Indonesia menjadi lahan empuk bagi sindikat pelaku kejahatan yang mengendalikan bisnis ilegal perdagangan manusia atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Selain memanfaatkan kondisi rentan masyarakat, ditambah regulasi perlindungan kepada masyarakat yang lemah, serta pengawasan SOP keluar masuk warga negara.
Modus yang dilakukan para pelaku TPPO tersebut bervariasi. Salah satunya adalah menjadikan korban sebagai pekerja migran ilegal atau Pembantu Rumah Tangga (PRT).
Kemudian modus menjadikan korban sebagai Anak Buah Kapal (ABK), menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) dan hingga eksploitasi anak.
“Belum lagi soal SDM, ekonomi, dan berbagai potensi lain misalnya dokumen dokumen, berkas berkas yang mudah di palsukan, hingga perkembangan media sosial dan lain lain,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol DR (Can) H Hengki Haryadi, saat memberikan Kuliah Umum di Fakultas FISIP Universitas Indonesia, Senin (25/9/2023).
Hengki menjelaskan TPPO merupakan kejahatan serius yang melanggar hak asasi manusia. TPPO dinilai sebagai bentuk perbudakan modern dan ini bertentangan dengan martabat kemanusiaan.
Modus operandi dalam TPPO terbanyak secara berturut-turut adalah Prostitusi (Pekerja Seks Komersial), Eksploitasi Tenaga Kerja Indonesia, Eksploitasi Pembantu Rumah Tangga, Jual Beli Anak dan Jual beli Organ Tubuh.
Subjek pidana dalam TPPO terdiri dari setiap orang, korporasi, kelompok terorganisasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan.
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang,” ujar Hengki.
Data tahun lalu, lanjut Hengki, sedikitnya 1.581 orang di Indonesia menjadi korban TPPO dalam kurun waktu 2020-2022. Dan hingga tahun 2023, kasus TPPO masih menjadi tantangan utama dari pemerintah Indonesia.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat sedikitnya 1.581 orang di Indonesia menjadi korban TPPO pada periode 2020-2022.
“Mayoritas korban juga merupakan berasal dari kelompok rentan, yakni perempuan dan anak. Data Simfoni PPA mencatat bahwa dari tahun 2020-2022 terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO,” beber Hengki.
Sementara pasca Satgas TPPO dipimpin Ketua Harian adalah Kapolri. Dan hitungan dua bulan, Satuan Tugas (Satgas) TPPO Polri menerima 757 laporan selama periode 5 Juni- 14 Agustus 2023. Dari ratusan laporan itu, polisi menangkap dan menetapkan 901 orang sebagai tersangka kasus perdagangan orang.
“Penegakkan kasus TPPO ini dilakukaan atas perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Jumlah korban TPPO yang diselamatkan sebanyak 2.425 orang, sedangkan jumlah tersangka pada kasus TPPO sebanyak 901 orang,” kata Hengki.
Hengki menyimpulkan, selain mengajak masyarakat untuk besama-sama memerangi TPPO, ada beberapa aspek yang harus di perbaiki, misal soal SOP para imigran di Imigrasi, memperketat pemeriksaan dan data reel PMI Indonesia.
“Perbedaan persepsi aparat penegak hukum, terkait hukum TPPO. Hubungan antar negara, budaya masyarakat. Termasuk korban yang tidak merasa korban. Sulitnya peluang kerja, juga menjadi dasar banyak PMI ilegal,” katanya.
Dalam tanya jawab, mahasiswa juga mempertanyakan beberapa kasus TPPO yang terhambat dan SP3 di
Kepolisian di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan kasus ABK di Polda Metro Jaya. Bagaimana ganti rugi restitusi bagi para korban TPPO. (Red)