Monevonline.com, oleh Muhammad Alfariezie
• Selain tangkapan yang terus menurun, nelayan Lampung perlu modal berkali lipat untuk membeli BBM subsidi
• Banyak ikan mabuk di perairan pesisir Bandar Lampung
• Nelayan terancam penggusuran dan kehilangan tempat tinggal
Masih terngiang di benak kita bagaimana anak-anak sekolah menyanyikan lagu “nenek moyangku seorang pelaut”. Larik itu seolah mengusik ingatan tentang citra membanggakan tentang seseorang yang mengarungi samudera, macam nelayan juga. Bermodal tekad dan semangat, mereka teguh meski badai dan enggak peduli nasib pelik, karena anak istri selalu menanti rezeki mereka di pinggiran pantai yang barangkali pun jauh dari kata sederhana.
Sayang sekali, keteguhan agung “nenekku seorang pelaut” sudah tidak dirasakan semua nelayan Indonesia, pun begitu bagi nelayan di provinsi Lampung. Seperti saat Monev pelesir sekaligus silaturahmi dengan nelayan kerang di Way Gebang, Pesawaran.
Abdul Somad mengatakan, dulu dia seorang nelayan. Dia terus berjuang mengarungi lautan. Hasil jual tangkapannya ditabung. Bertahap, hasil tabungannya dibelikan kapal hingga kini Abdul Somad disebut juragan.
Pengepul-pengepul dari Palembang dan Jakarta kerap datang ke tempat juragan Somad. Kerang kelapa hingga kerang bulu hasil tangkapan nelayannya dijual untuk sajian rumah makan hingga restoran kota-kota besar.
“Orang Cina tuh paling demen makan kerang. Makanya banyak kerang dari saya ini masuk restoran tempat biasa orang Cina makan,” terang Abdul Somad.
Keberhasilan Somad bukan tanpa masalah. Kendati dia telah memiliki lebih dari satu kapal dan anak buah, tapi kini kesulitannya beralih. Kalau dulu mungkin sulit melaut karena keterbatasan kapan, kini dia tidak bisa membeli pertalite menggunakan drigen. Padahal untuk berlayar ke tengah laut, kapalnya perlu 7 liter pertalite.
Terpaksa dia mengeluarkan dana lebih untuk membeli sebotol pertalite berisi satu setengah liter yang harganya 20 ribu rupiah dari pengecer.
“Tolonglah kita ini. Logikanya kita yang nelayan enggak boleh beli pakai jeriken, tapi kok di sepanjang jalan masih banyak yang jualan bensin eceran. Tolonglah aparat dan pemerintah serta pertamina jangan main-main soal BBM ini. Kita membeli pertalite menggunakan jeriken bukan untuk dijual kembali, tapi memang karena kapal ini enggak bisa kita bawa ke SPBU,” tuturnya.
Keadaan sulit Abdul Somad dan anak buahnya memang tidak mengurangi hasil tangkapan. Tapi memengaruhi keuntungan andai mereka tidak menaikan harga jual. Karena itu, agar pasar penjualan ikan tetap menerapkan harga jual yang sesuai maka para nelayan diharapkan meminta surat rekomendasi pembelian BBM ke Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten atau Kota. Sayang sekali kalau potensi perikanan Lampung justru menyulitkan nelayan sehingga berdampak pada konsumen. Sekretaris Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung, Makmur Hidayat menuturkan pada Senin, 12 September 2022.
Lampung Hasilkan 388.000 Sumber Daya Perikanan Pertahun
Potensi perikanan tangkap provinsi Lampung menghasilkan 141.000 ton pertahun. Sedangkan secara umum, perikanan tangkap hingga budidaya menghasilkan 388.000 ton dalam waktu satu tahun.
Jumlah yang cukup bagi ketahanan pangan dari sumber daya perairan itu dapat tercapai karena letak strategis Provinsi Lampung. Lampung punya laut Jawa yang terletak di pantai timur, memiliki Samudera Hindia, juga mempunyai teluk Lampung dan teluk Semaka.
“Itungan mudah dari letak strategis Lampung itu gini, jadi ketika nelayan di Pesisir Barat tidak bisa melaut karena musim barat maka kita masih punya stok ikan dari hasil tangkap nelayan yang berada di Pantai Timur
“Belum lagi dari nelayan yang ada di teluk, karena di sana kan tidak terlalu terkendala cuaca,” jelas Makmur Hidayat.
Selain itu, Lampung juga memiliki kekayaan sumber daya dari budidaya perikanan. Kendalanya pun tidak banyak, karena masih dalam skala pakan dan pasar.
“Kalau pakan kita masih bisa berkaloborasi melakukan modifikasi dan inovasi. Tapi selagi pasarnya ada, maka hasil budidaya perikanan itu akan menghasilkan rupiah,” kata Makmur.
Rajungan Lampung Diminati Amerika Serikat
Dinas Kelautan dan Perikanan juga melakukan kolaborasi dengan beberapa NJO dan para pakar untuk memulihkan stok rajungan dan ikan langka macam belida. Program berkelanjutan itu diharapkan dapat mendongkrak pendapatan perairan Lampung, karena selama ini nilai ekspor rajungan hampir 500 miliar rupiah pertahun. 90% pemasoknya yakni Amerika Serikat. Selain itu, akademisi dari Unila, Dr. Indra Gumay Yuda bersama timnya terus melakukan penelitian untuk menjaga stabilitas hasil rajungan di Pantai Timur Lampung.
Amat disayangkan “andai” nelayan Lampung justru tidak bisa memanfaatkan hasil tangkap yang sangat luar biasa ini, seperti meraih keuntungan dan memberi gizi seimbang bagi penduduk lokal mau pun mancanegara. Apalagi karena hal sepele macam nelayan yang sulit membeli bahan bakar untuk kepentingan melaut.
Idealnya, provinsi seperti Lampung yang dikelilingi kawasan pesisir sudah membangun SPBN, karena mayoritas masyarakat di pesisir berprofesi sebagai nelayan. Tapi karena mungkin masih sebagai negara berkembang, Indonesia belum mampu mendirikan SPBN sebagai penunjang kerja nelayan.
Makmur Hidayat menjelaskan, pemerintah dan pertamina belum bisa mewujudkan kemudahan pembelian BBM bagi nelayan atau mendirikan SPBN. Karena itu hal yang dapat dilakukan untuk memudahkan nelayan, ialah membuatkan surat rekomendasi perizinan pengocoran bahan bakar yang digunakan untuk melaut.
“Mestinya kayak di Lempasing itu ada SPBN sehingga nelayan bisa langsung melakukan pengocaran BBM untuk melaut. Tapi kan pertamina belum bisa mewujudkan karena terkendala berbagai hal. Salah satu cara agar nelayan tidak kesulitan, yakni menggunakan surat rekomendasi,” tuturnya.
Pemerintah memang telah mengeluarkan surat edaran untuk melarang pembelian BBM di SPBU menggunakan jeriken. Larangan itu tertulis dalam Surat Edaran Nomor 0013.E/10/DJM.O/2017 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral perihal Ketentuan Penyaluran BBM Melalui Lembaga Penyalur.
Namun, masih diperbolehkan untuk kebutuhan pertanian, industri kecil dan kepentingan sosial, sesuai peraturan presiden nomor 15 tahun 2012 mengenai harga jual eceran dan konsumen pengguna jenis bahan bakar tertentu.
Senior Supervisor communication dan relation pertamina patra niaga regional sumbagsel, Haris Yanuanza juga mengatakan pada Kamis, 8 September. Membeli BBM menggunakan jeriken masih diperbolehkan, tapi mesti menyertakan surat rekomendasi dari dinas atau kementerian.
“Kalau untuk nelayan, bisa menggunakan surat ijin dari kepala dinas KKP. Nanti pihak dinas tersebut yang akan mengeluarkan surat rekomendasi sebagai dasar pembelian BBM menggunakan jerigen,” jelasnya.
Surat rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan ini diharapkan dapat menghapus permasalahan nelayan yang sulit mendapat bahan bakar bakal melaut. Sungguh-sungguh, PR pemerintah, NJO dan lembaga terkait hasil tangkap perairan mau pun lingkungan kelautan dan perikanan provinsi Lampung masih “seabrek”.
Sabtu, 10 September 2022, Monev bersilaturahmi dengan Ketua Kelompok Nelayan Sukaraja Bandar Lampung, Yudi. Dia menjelaskan hasil tangkap nelayan payang di sana sudah sangat memprihatinkan. Alasannya karena pencemaran lingkungan yang sudah tidak terkendali. Limbah-limbah pabrik serta kebocoran minyak pertamina hingga bahan bakar kapal sampai sampah telah menyebabkan regenerasi sumber daya laut di pesisir Sukaraja hampir punah.
“Kita sudah sering melihat ikan-ikan berloncatan tak wajar ke atas air karena mabuk sebab lihat sendiri perairan kita yang warnanya coklat kehitaman,” tuturnya.
Pencemaran lingkungan laut pesisir Bandar Lampung ini akan terus tak terkendali andai pemerintah takut melakukan intervensi terhadap perusahaan industri dan kapal-kapal besar bahkan nelayan setempat.
Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri menjelaskan pada Senin, 12 September 2022. Isu limbah lingkungan pesisir Bandar Lampung bukan baru-baru ini terjadi. Program pencegahan serta revitalisasi sudah masuk dalam rencana kerja pemerintahan. Akan tetapi realisasi berkala dan terjadwal belum dioptimalkan bahkan belum terlihat telah dilakukan. Lebih-lebih, limbah pantai muncul bukan karena ulah penduduk atau nelayan setempat, tapi ada andil perusahaan industri dan gelombang laut juga.
Masyarakat pesisir dan lebih luas lagi warga Lampung menanti keberanian pemerintah provinsi mau pun kabupaten/kota dalam melakukan intervensi dan pemberian sanksi bagi oknum yang merusak lingkungan pesisir. Karena PR pemerintah dan lembagai terkait kesejahteraan masyarakat pesisir benar-benar menggunung andai ini dibiarkan terus-menerus.
Yudi menjelaskan, dia dan sebagian warga Sukaraja menerima surat. Isi suratnya meminta mereka meninggalkan tempat tinggal yang telah mereka tempati turun menurun. Sayang, Yudi belum menjelaskan lebih lanjut terkait perusahaan apa yang menyuruh mereka pergi dari tempat tinggal yang telah dihuni turun temurun itu.
Selain Yudi, masyarakat sekitaran Sebalang, Kabupaten Lampung Selatan juga menuturkan kegelisahan dan keluh kesah. Nenek buyut mereka pada zaman dulu dipaksa menandatangani surat penjualan tanah.
“Kapan pun waktu, kami hanya bisa melawan dan pasrah jika ada yang mengusir. Kami sudah bertempat tinggal di sini tanpa sertifikat tanah karena hasil jual paksa itu tadi. Bahkan bukit di belakang pemukiman ini pun sudah dimiliki orang tertentu,” kata warga yang identitasnya tak bisa disebutkan.
“Nenek moyangku seorang pelaut” mungkin hanya telah mengejewantah sebagai kata-kata yang tidak lagi memiliki arti penting. Siapa yang mau bercita-cita sebagai nelayan? Bahkan tempat tinggal mereka pun ingin digusur. Siapa yang mau membeli ikan, kalau isi perut mereka tercemar logam berat. Ini tugas besar yang tak bisa diabaikan.