Opini  

Generasi Kelimpungan di Tengah Kemajuan Industri Teknologi Komunikasi

Muhammad Alfariezie

Monevonline.com, Indonesia tidak akan menjadi negara super power bila enggan menerapkan support sistem ekonomi berkeadilan dan revolusioner.

Republik ini akan selalu dipecundangi negeri-negeri adidaya macam Rusia, China mau pun Amerika. Imbasnya, generasi penerus kita hanya menjadi pembeli dari produk super power negera-negara yang mengusung super spesialisasi.

Millenial Indonesia akan terus-terusan membanggakan produk luar negeri dan melupakan berdikari, salah satu dari itu yakni, membuat produk sendiri sebagai kebanggaan negera yang besar atau negara merdeka.

Generasi penerus kita juga bakal kelimpungan atau yang lebih parah tidak tahu menahu cara mengelola sumber daya alam yang melimpah. Para petani dan nelayan yang menyumbangkan jerih payahnya bagi kehidupan hanya sekadar menjadi penderita atas kemajuan ilmu pengetahuan.

Saat ini, sumber kelautan, pertanian hingga pertambangan Indonesia kalah dari industri teknologi kendaraan mau pun telekomunikasi. Salah satu kasus saja kita ambil dari barter pertanian dengan alat teknologi komunikasi.

Betapa mahal generasi muda kita membeli barang kebutuhan sehari-hari. Sebab, di era serba internet dan instan ini, bahkan anak SMP harus memiliki smartphone. Rata-rata generasi muda yang saat ini bekerja mencari nafkah tak lepas dari gadjet sebagai penunjangnya.

Smartphone bahkan lebih diperlukan dari pada kendaraan. Dari smartphone, seorang bocah ingusan bisa mendatangkan jasa transportasi dan menggerakan kendaraan logistik dari pulau nun jauh di seberang sana.

Masalahnya mari kita berhitung sejenak untuk membuka pola pikir sebagai bangsa yang besar, bangsa yang merdeka karena jerih payah dan tumpah darah.

Sekarang mari kita bulatkan harga 1 kg beras sama dengan Rp 10.000 sedangkan harga smartphone 2 juta rupiah. Ceritanya begini—

Untuk membeli satu smartphone maka sama saja Budi harus barter dengan 200 kg beras. Ironi, jutaan butir dan ratusan piring kebutuhan hidup masyarakat Indonesia ini hanya ditukar dengan satu ponsel pintar.

Untuk menanam ratusan kilogram padi, Budi membutuhkan lahan yang cukup luas, sedangkan lahan itu dapat dijadikan rumah. Tapi, untuk merakit satu smartphone, Michele hanya membutuhkan kamar yang tidak terlalu lebar atau megah.

Budi pun mesti banting tulang selama kurang lebih sampai setengah tahun untuk rutim menyiram dan mengusir hama agar tidak mengalami gagal panen.

Hidup tidak adil bagi Budi dan Michele? Tidak itu adalah ungkapan yang salah. Hidup akan terasa adil jika kita dapat merealisasi super spesialisasi di Indonesia.

Harga pembuatan Smartphone tidak sampai setengah harga jualnya. Tiongkok yang terkenal pandai berbisnis tahu benar keuntungan luar biasa dari penjualan teknologi. Karena itu, mereka membanggakan produk luar negeri yang bernama Huawei.

Masyarakat Tiongkok menyambut baik terlaksananya industri telekomunikasi itu. Mereka tidak perduli betapa elegant merk dagang I Phone. Pede saja, mereka menggunakan ponsel pintar asal Huawei.

Indonesia bagaimana? Perusahaan-perusahaan di Indonesia masih sebatas perakitan. Komponennya pun impor dari Tiongkok dan Malaysia.

Direktur Tata Sarana Mandiri (TSM) Sam Ali mengungkapkan psimistis Indonesia untuk memproduksi massal smartphone.

Menurutnya, resiko produksi smartphone akan menimbulkan kerugian investasi. Sebab, dibutuhkan sekitar enam bulan untuk melakukan produksi smartphone sedangkan lifestyle handphone berjangka pendek.

Rasa psimis inilah yang harusnya mendorong petinggi bangsa untuk segera merancang super spesialisasi teknologi guna industri alat telekomunikasi karena dampaknya sangat besar bagi perekonomian Indonesia.

Bagaimana petani dapat berjaya kalau untuk membeli satu smartphone saja mesti barter dengan 200 kg beras?

Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Lampung, Prof. Nairobi mengungkapkan, Indonesia bakal jadi negera maju kalau sudah mampu untuk super spesialisasi, terutama teknologi.

Karena Indonesia, tidak kalah dalam bidang infrastruktur, sumber daya pangan, energi hingga pertambangan. Tapi dari segi teknologi, Indonesia sangat kalah, bahkan dari negara tetangga seperti Malaysia. Jelas dikatakan di atas, Indonesia mesti impor komponen Smartphone dari negeri jiran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *