Monevonline.com,
Oeh Muhammad Alfariezie
Rasanya lelah menyadarkan pemerintah kota Bandar Lampung, serta DPRD Kota Bandar Lampung untuk menyadari betapa pentingnya Ruang Terbuka Hijau Publik bersarana olahraga yang tumbuh sumbur pohon akasia sebagai area revatilisasi kualitas oksigen bagi warga setempat.
Sudah puluhan artikel dan bahkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup setempat serta para akademisi telah diwawancara. Akan tetapi jangankan konstruk pembangunan RTH itu sendiri, sekadar wacana pun tidak terdengar publik.
Walikota Bandar Lampung Eva Dwiana justru meminta kepada pengusaha pengembang perumahan untuk membangun minimal 30% RTH untuk pembangunan perumahannya. Berdasar peraturan perundang-undangan yang terkait, usulan Eva sudah sesuai.
Namun dalam rumusan serta pelaksanaannya, tidak disebutnya sanski tegas dan jelas bagi perusahaan pengembang perumahaan yang tidak mengindahkan intruski Wali Kota itu, sehingga dapat disimpulkan bahwa permintaan tersebut sebatas angin lalu, hanya untuk memuaskan opini pembangunan RTH yang terus digulirkan pemerhati lingkungan.
Sebelumnya, Walhi Lampung juga menyatakan sikap soal pembangunan di Bandar Lampung yang banyak menggerus area-area hijau perkotaan Bandar Lampung. Apalagi kawawan hijau sepanjang Sukadaham banyak ditemukan pembangunan perumahan.
Tetap saja, tidak ada upaya konkret dari pemerintah untuk melakukan revitalisasi kualitas oksigen dan kelayakan huni warga Bandar Lampung. Seakan, pemangku kebijakan tutup mata terhadap kualitas asupan oksigen dan Kebugaran fisik masyarakat; terkesan ada pembiaran warga Bandar Lampung berolahraga di pinggir-pinggir jalan kota.
Atas dasar itu, muncul ide khusus untuk menyadarkan pemerintah dan DPRD Kota Bandar Lampung agar hadirnya pembangunan RTH sebagaimana tertulis di atas tak sekadar hitam di atas putih.
Saat ini publik Euforia publik Indonesia tidak sebagat pilpres pemilu 2024. Tapi juga tertuju dan berfokus pada kegemilangan sistem permainan dan sistem pembinaan di bawah pelatih Shin Tae-yong dan Ketua Umum PSSI Erick Thohir.
Buktinya, 60 ribu tiket Indonesia vs Vietnam di Gelora Bung Karno pada 21 Maret 2024 Sould Out, menandatakan euphoria sepakbola Indonesia yang tak terbendung.
Masalahnya adakah pesepakbola asal Lampung yang membela Timnas Indonesia? Jawabannya adalah, jangan pesepakbola Lampung yang berkiprah di Timnas, bahkan klub sepakbola di tanah lada ini tidak sanggup berkompetisi di kasta tertinggi liga Indonesia.
Parahnya, tidak juga mampu bertanding di kasta kedua. Bayangkan, sepakbola Lampung dinomertigakan.
Pernah sesekali saja klub sepakbola di Lampung turut meramaikan kompetisi kasta utama Liga Indonesia. Sebelum Badak Lampung, ada yang namanya Jaka Utama dan PSBL. Kemudian para era sepak bola modern ini, muncul nama Badak Lampung.
Badak Lampung bukan klub asli orang Sai Bumi Ruwa Jurai, melainkan alih kepemilikan lantaran manajemen Perseru Serui (Nama Badak Lampung sebelum akusisi) kesulitan finansial.
Akan tetapi nama Badak Lampung FC hanya bertahan semusim di kasta tertinggi liga Indonesia. Semusim turun kasta, Badak Lampung kemudian turun lagi dan hanya menghuni kasta ketiga.
Bukan tanpa sebab sepakbola di Lampung hanya menjadi nomor tiga di Indonesia, dan inilah waktu yang tepat menyadarkan Pemerintah dan DPRD saat Bandar Lampung ketinggalan Euforia sepak bola Erick Thohir-Shin Tae-yong.
Kota Bandar Lampung sebagai ibukota provinsi Lampung tidak memiliki lapangan sepakbola. Kerap kali melihat anak-anak mengolah bola di jalan-jalan komplek perumahan maupun di pinggir jalan kelurahan.
Bukan soal bahaya saja, meski itu yang utama. Masalahnya Lampung ketinggalan euphoria kebangkitan sepakbola tanah air.
Untuk itu, diperlukan kesadaran dari pemerintah kota/kabupaten dan provinsi serta DPRD untuk merancang konstruk Ruang Terbuka Hijau Bersarana Olahraga yang terdapat area untuk mereka bermain bola untuk tiap kelurahan.
Realisasi pembangunan ini akan sangat berguna untuk menunjang semangat sepakbola anaki-anak muda. Anak-anak Afrika menjadi populer dan mudah membangun daerahnya karena sepakbola. Sebutlah Sadio Mane. Bahkan dia membangun stadion untuk tempatnya tinggal.
Anak-anak Afrika bisa seperti itu karena mereka tidak kekurangan tanah lapang sebagai tempat mengolah teknik dan skill mengolah bola. Sedangkan Bandar Lampung, Taman Gajah yang memiliki sarana hijau dan lapangan futsal gratis dialihfungsi menjadi masjid.
Maaf bukan rasis atau anti agama, namun Bandar Lampung sudah memiliki Masjid Agung Al-Furqon, sedangkan daerah ini tidak memiliki Ruang Terbuka Hijau bersarana olahraga.
Sulit berbicara jargon “Memasyarakatkan Olahraga” andai pembangunan Ruang Terbuka Hijau tersebut masih sebatas hitam di atas putih dari tinta penulis Opini. Padahal tidak salah-salah, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menjabat juga sebagai Ketua Komite Olahgara Nasional Indonesia Provinsi ini.***