KKP Latih Budidayakan Lele Sistem Bioflok

ist

MONEVONLINE.COM, JAKARTA  – Lele merupakan jenis ikan yang diminati masyarakat Indonesia. Namun, kapasitas media pembesaran dan pakan ikan lele kerap menjadi permasalahan yang dialami pembudidaya, sehingga produktivitas panen komoditas satu ini sulit dioptimalkan. Guna mengatasinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Puslatluh KP) menyelenggarakan Pelatihan Pembesaran Ikan Lele Sistem Bioflok bagi masyarakat di 4 (empat) Kabupaten, yaitu:
1. Kabupaten Kupang
2. Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),
3. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS); dan
4. Kabupaten Malaka.

Pelatihan secara serentak dilaksanakan pada 19-20 April 2021 menggunakan metode blended learning melalui sambungan zoom agar tetap mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19. Difasilitasi oleh Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BP3) Banyuwangi, pelatihan diikuti oleh 150 orang peserta dari keempat kabupaten dengan rincian sebanyak 40 pembudidaya hadir dari Kabupaten Kupang, TTU dan TTS serta sebanyak 30 peserta lainnya merupakan pembudidaya dari Kabupaten Malaka.

Pelatihan bertujuan untuk memasyarakatkan sistem bioflok dalam kegiatan perikanan budidaya yang membantu dalam efisiensi dan produktivitas budidaya lele. Hal ini dikarenakan pada sistem bioflok, ditumbuhkan mikroorganisme pengolah limbah budidaya di dalam kolam pembesaran ikan yang berfungsi mengolah limbah budidaya menjadi gumpalan-gumpalan kecil yang disebut sebagai flok. Flok tersebut kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami lele.

Ditemui secara terpisah, Kepala Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP), Sjarief Widjaja menyebut, pelatihan bertujuan untuk memasyarakatkan sistem bioflok yang membantu dalam efisiensi dan produktivitas budidaya lele. Pasalnya, budidaya ikan sistem bioflok memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan budidaya ikan dengan sistem konvesional.

“Sistem bioflok lebih efisien dari budidaya lele dengan cara konvensional. Dengan sistem bioflok, budidaya bisa diterapkan di lahan sempit dan kolam yang kecil, memiliki padat tebar yang tinggi dan kolamnya tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Tak hanya itu, budidayanya dapat dilakukan pada tempat tertutup, lebih hemat lahan, air dan pakan, serta produktivitasnya tinggi,” ucapnya.

“Selain itu, ikan yang dibudidayakan dengan sistem bioflok dagingnya juga lebih hiegenis dan memiliki rasa lebih enak,” tambah Sjarief.

Untuk itu, para peserta dibekali dengan materi pengelolaan media bioflok, pengelolaan benih, pengelolaan tingkat kehidupan ikan, pengelolaan kesehatan ikan dan pemanenan ikan. Materi yang runut dari hulu ke hilir ini diharapkan akan menjadi kompetensi penunjang bagi masyarakat dalam mengembangkan usaha budidayanya.

Pelatihan secara serentak dilaksanakan pada 19-20 April 2021 menggunakan metode blended learning melalui sambungan zoom agar tetap mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19. Difasilitasi oleh Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BP3) Banyuwangi, pelatihan diikuti oleh 150 orang peserta dari keempat kabupaten dengan rincian sebanyak 40 pembudidaya hadir dari Kabupaten Kupang, TTU dan TTS serta sebanyak 30 peserta lainnya merupakan pembudidaya dari Kabupaten Malaka.

Pelatihan bertujuan untuk memasyarakatkan sistem bioflok dalam kegiatan perikanan budidaya yang membantu dalam efisiensi dan produktivitas budidaya lele. Hal ini dikarenakan pada sistem bioflok, ditumbuhkan mikroorganisme pengolah limbah budidaya di dalam kolam pembesaran ikan yang berfungsi mengolah limbah budidaya menjadi gumpalan-gumpalan kecil yang disebut sebagai flok. Flok tersebut kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami lele.

Ditemui secara terpisah, Kepala Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP), Sjarief Widjaja menyebut, pelatihan bertujuan untuk memasyarakatkan sistem bioflok yang membantu dalam efisiensi dan produktivitas budidaya lele. Pasalnya, budidaya ikan sistem bioflok memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan budidaya ikan dengan sistem konvesional.

“Sistem bioflok lebih efisien dari budidaya lele dengan cara konvensional. Dengan sistem bioflok, budidaya bisa diterapkan di lahan sempit dan kolam yang kecil, memiliki padat tebar yang tinggi dan kolamnya tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Tak hanya itu, budidayanya dapat dilakukan pada tempat tertutup, lebih hemat lahan, air dan pakan, serta produktivitasnya tinggi,” ucapnya.

“Selain itu, ikan yang dibudidayakan dengan sistem bioflok dagingnya juga lebih hiegenis dan memiliki rasa lebih enak,” tambah Sjarief.

Untuk itu, para peserta dibekali dengan materi pengelolaan media bioflok, pengelolaan benih, pengelolaan tingkat kehidupan ikan, pengelolaan kesehatan ikan dan pemanenan ikan. Materi yang runut dari hulu ke hilir ini diharapkan akan menjadi kompetensi penunjang bagi masyarakat dalam mengembangkan usaha budidayanya.

Pelatihan secara serentak dilaksanakan pada 19-20 April 2021 menggunakan metode blended learning melalui sambungan zoom agar tetap mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19. Difasilitasi oleh Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BP3) Banyuwangi, pelatihan diikuti oleh 150 orang peserta dari keempat kabupaten dengan rincian sebanyak 40 pembudidaya hadir dari Kabupaten Kupang, TTU dan TTS serta sebanyak 30 peserta lainnya merupakan pembudidaya dari Kabupaten Malaka.

Pelatihan bertujuan untuk memasyarakatkan sistem bioflok dalam kegiatan perikanan budidaya yang membantu dalam efisiensi dan produktivitas budidaya lele. Hal ini dikarenakan pada sistem bioflok, ditumbuhkan mikroorganisme pengolah limbah budidaya di dalam kolam pembesaran ikan yang berfungsi mengolah limbah budidaya menjadi gumpalan-gumpalan kecil yang disebut sebagai flok. Flok tersebut kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami lele.

Ditemui secara terpisah, Kepala Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP), Sjarief Widjaja menyebut, pelatihan bertujuan untuk memasyarakatkan sistem bioflok yang membantu dalam efisiensi dan produktivitas budidaya lele. Pasalnya, budidaya ikan sistem bioflok memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan budidaya ikan dengan sistem konvesional.

“Sistem bioflok lebih efisien dari budidaya lele dengan cara konvensional. Dengan sistem bioflok, budidaya bisa diterapkan di lahan sempit dan kolam yang kecil, memiliki padat tebar yang tinggi dan kolamnya tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Tak hanya itu, budidayanya dapat dilakukan pada tempat tertutup, lebih hemat lahan, air dan pakan, serta produktivitasnya tinggi,” ucapnya.

“Selain itu, ikan yang dibudidayakan dengan sistem bioflok dagingnya juga lebih hiegenis dan memiliki rasa lebih enak,” tambah Sjarief.

Untuk itu, para peserta dibekali dengan materi pengelolaan media bioflok, pengelolaan benih, pengelolaan tingkat kehidupan ikan, pengelolaan kesehatan ikan dan pemanenan ikan. Materi yang runut dari hulu ke hilir ini diharapkan akan menjadi kompetensi penunjang bagi masyarakat dalam mengembangkan usaha budidayanya.

Kepala Puslatluh KP, Lilly Aprilya Pregiwati menyatakan bahwa pelatihan tidak lepas dari program prioritas KKP sesuai dengan arahan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono yaitu membangun kampung-kampung budidaya ikan air tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal di seluruh penjuru Indonesia. Ia berharap, pelatihan dapat menumbuhkembangkan usaha perikanan terintegrasi yang kemudian mendorong roda perekonomian di keempat kabupaten tersebut.

“Dengan ditetapkannya beberapa lokasi kampung budidaya perikanan di tahun ini sebagai awal dari program terobosan untuk pembangunan kampung budidaya ikan air tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal, saya mengharapkan di keempat kabupaten ini pun dapat mengembangkan kampung usaha perikanan terintegrasi sehingga roda perekonomian di daerah dan nasional pun ikut termaksimalkan,” tuturnya.

Lilly mengaku, pelatihan daring ini telah disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi perikanan yang terdapat di wilayah kerja BP3 Banyuwangi, salah satunya di wilayah Provinsi NTT yang mempunyai potensi budidaya ikan lele namun masih menggunakan sistem konvensional dalam pembesarannya.

Turut andil menginisiasikan pelatihan ini, Anggota Komisi IV DPR RI, Edward Tannur menyebut, kerja sama dengan KKP ini sebagai upaya mengembangkan sektor budidaya perikanan darat, khususnya lele dengan sistem bioflok di Provinsi NTT yang memiliki luas tanah yang terbatas, namun potensi perikanan daratnya sangat mendukung. Demi memanfaatkannya, keterampilan dan pengetahuan masyarakat perlu lebih ditingkatkan.

“Dengan sistem ini, masyarakat mendapatkan pengetahuan baru sehingga dengan skill yang dimiliki, Bapak/Ibu semua dapat meningkatkan taraf hidup dan sumber pendapatanya, khususnya terutama bagi masyarakat yang berdomisili di daerah pedalaman dan memiliki lahan terbatas, maka manfaatkanlah pelatihan ini dengan sebaik-baiknya potensi perikanan Provinsi NTT yang luar biasa ini dapat termahsyurkan,” pungkas Edward.

Kepala Puslatluh KP, Lilly Aprilya Pregiwati menyatakan bahwa pelatihan tidak lepas dari program prioritas KKP sesuai dengan arahan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono yaitu membangun kampung-kampung budidaya ikan air tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal di seluruh penjuru Indonesia. Ia berharap, pelatihan dapat menumbuhkembangkan usaha perikanan terintegrasi yang kemudian mendorong roda perekonomian di keempat kabupaten tersebut.

“Dengan ditetapkannya beberapa lokasi kampung budidaya perikanan di tahun ini sebagai awal dari program terobosan untuk pembangunan kampung budidaya ikan air tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal, saya mengharapkan di keempat kabupaten ini pun dapat mengembangkan kampung usaha perikanan terintegrasi sehingga roda perekonomian di daerah dan nasional pun ikut termaksimalkan,” tuturnya.

Lilly mengaku, pelatihan daring ini telah disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi perikanan yang terdapat di wilayah kerja BP3 Banyuwangi, salah satunya di wilayah Provinsi NTT yang mempunyai potensi budidaya ikan lele namun masih menggunakan sistem konvensional dalam pembesarannya.

Turut andil menginisiasikan pelatihan ini, Anggota Komisi IV DPR RI, Edward Tannur menyebut, kerja sama dengan KKP ini sebagai upaya mengembangkan sektor budidaya perikanan darat, khususnya lele dengan sistem bioflok di Provinsi NTT yang memiliki luas tanah yang terbatas, namun potensi perikanan daratnya sangat mendukung. Demi memanfaatkannya, keterampilan dan pengetahuan masyarakat perlu lebih ditingkatkan.

“Dengan sistem ini, masyarakat mendapatkan pengetahuan baru sehingga dengan skill yang dimiliki, Bapak/Ibu semua dapat meningkatkan taraf hidup dan sumber pendapatanya, khususnya terutama bagi masyarakat yang berdomisili di daerah pedalaman dan memiliki lahan terbatas, maka manfaatkanlah pelatihan ini dengan sebaik-baiknya potensi perikanan Provinsi NTT yang luar biasa ini dapat termahsyurkan,” pungkas Edward.

Menyambut baik kegiatan ini, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kupang, Jackson Maktenes Baook memberikan apresiasi tinggi terhadap pelatihan ini. Ia mengaku, budidaya ikan sistem bioflok ini sangat cocok bagi kondisi alam di daerahnya dikarenakan daerahnya kerap terkendala oleh aliran air yang terbatas.

“Daerah Kabupaten Kupang sangat miskin air, karena itulah perlu memikirkan cara yang tepat untuk bisa memastikan penggunaan air yang cermat. Untungnya, pelatihan memberikan jalan keluar bagi pembudidaya ikan di daerah kami, yaitu menggunakan sistem bioflok yang hemat air. Semoga dengan adanya alternatif ini, keberlangsungan usaha pembudidaya ikan di daerah kami tetap terjaga,” ucapnya.

Sebagai informasi, pelatihan juga merupakan upaya KKP dalam rangka menggenjot gerakan Gemar Makan Ikan (GEMARIKAN) demi meningkatkan konsumsi ikan nasional dengan target sebanyak 62,5 kg/kapita/tahun di tahun 2024, di mana pada tahun 2018 angka konsumsi ikan (AKI) Provinsi NTT tercatat sebesar 42,13 kg/kapita saja. Bahkan, beberapa kabupatennya memiliki AKI yang terpaut jauh, sebagai contoh AKI Kabupaten Belu hanya mencapai 22,50 kg/kapita di tahun yang sama.

Melalui pelatihan, diharapkan minat makan ikan dapat bertambah dan meluas dari yang awalnya diawali dari empat kabupaten, kemudian berkembang dan memeratakan minat makan ikan bagi masyarakat Provinsi NTT secara keseluruhan. Terlebih, pelatihan pun diadakan guna memperkuat ketahanan pangan nasional, di mana budidaya ikan, sebagai hulu dari kegiatan perikanan turut diperkuat agar fondasi ketahanan pangan nasional terjaga.

Guna memperkuat pengembangan perikanan budidaya, KKP pun tengah menggencarkan peningkatan kapasitas SDM melalui rangkaian pelatihan online access yang ditujukan bagi tak hanya pelaku utama kegiatan kelautan dan perikanan, namun juga seluruh masyarakat Indonesia. Melalui BP3 Medan, KKP menyelenggarakan Pelatihan Pengambilan dan Pengawetan Kelenjar Hipofisa Ikan Mas pada 20 April, 2021. Pelatihan ini menarik minat sebanyak 522 peserta dari penjuru daerah yang mencakup seluruh jenjang pendidikan dan kalangan pekerjaan melalui aplikasi zoom dan e-Jaring. Pelatihan pun ikut disiarkan melalui platform YouTube sehingga lebih banyak lagi khalayak dapat mengikuti materi yang diberikan.

Melalui pelatihan ini, peserta diajarkan salah satu teknik untuk mempercepat pemijahan ikan melalui injeksi kelenjar hipofisa, yang dinamakan dengan teknik Hipofisasi. Kelenjar ini mengandung hormon gonadotropin yang berfungsi untuk mempercepat ovalusi dan pemijahan, sehingga dapat menjadi alternatif hormon HCG komersial berfungsi serupa yang saat ini cukup langka dan berharga tinggi di pasaran. Harapannya, pelatihan dapat memperluas wawasan masyarakat serta memberi bekal kepada pembudidaya ikan dalam memaksimalkan kegiatan usahanya. (rls/red)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *