MONEVONLINE.COM – Akademisi IPB University Prof. Budi Mulyanto mengatakan, kehadiran Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) menjawab persoalan karut marutnya regulasi perizinan berusaha di Indonesia. UU Ciptaker ini, tuturnya, akan memberikan kepastian hukum, menciptakan efisiensi regulasi perizinan usaha dan daya saing investasi. “UU Cipta Kerja ini merupakan terobosan sekaligus jawaban dari karut-marutnya regulasi di Indonesia. Omnibus Law di negara lain telah banyak diterapkan dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negaranya masing-masing dalam rangka penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan iklim serta daya saing investasi,” kata Prof. Budi Mulyanto dalam keterangannya pada Rabu (6/1).
Menurut Prof Budi Mulyanto, ada beberapa akibat yang ditimbulkan dari ketidakpastian hukum dan regulasi. Pertama, banyak terjadi permasalahan agraria seperti sengketa, konflik dan perkara agraria/pertanahan. Kedua, perkembangan ekonomi nasional menjadi lamban. Ketiga, lapangan kerja sulit dikembangkan, padahal angkatan kerja terus meningkat sehingga banyak pengangguran.
Keempat, Indonesia peringkat 109 di Ease of Doing Bisnis (EODB) terendah di ASEAN (2016). “UU Cipta Kerja merupakan solusi dari salah satu permasalahan yang ditekankan oleh penilaian EODB untuk Indonesia, yaitu persoalan perizinan hingga ketidakpastian hukum yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha untuk berinvestasi,” terangnya. Guru Besar Ilmu Tanah IPB University ini menambahkan, manfaat UU Ciptaker dapat mempermudah, menyederhanakan proses dan meningkatkan produktivitas dalam penyusunan peraturan. UU Ciptaker sebagai strategi reformasi regulasi bertujuan agar penataan dilakukan sekaligus terhadap banyak peraturan perundang-undangan.
Tujuannya, tak lain untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam proses perizinan berusaha.
Berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) per 20 Februari 2020, terdapat 8.451 Peraturan Pusat dan 15.965 Peraturan Daerah yang menggambarkan kompleksitas regulasi di Indonesia. Kehadiran Omnibus Law UU Ciptaker, lanjut dia, sangat tepat untuk Mereformasi Benang Kusut Perizinan yang sudah mengurat akar puluhan tahun. “Di tengah pandemi Covid-19, Indonesia mampu menghadirkan produk hukum baru yang memberi harapan yakni UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja yang terdiri 116 pasal ini mampu merevisi 77 UU sebelumnya yang ternyata isinya saling tumpang tindih dan tidak ada kepastian,” terangnya. Omnibus law juga dipandang sebagai salah satu terobosan yang kreatif dalam menghidupkan sektor perekonomian untuk menciptakan lapangan kerja yang berkualitas guna menyerap tenaga kerja Indonesia. Dimana, angkatan kerja Indonesia setiap tahun hampir mencapai 2,9 juta jiwa. Sementara, jumlah tenaga kerja yang menganggur saat ini sudah hampir 15 juta orang. Solusi konkret untuk mengurangi jumlah pengangguran ini adalah dengan mendatangkan investasi sebanyak-banyaknya dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Jika begitu, tenaga angkatan kerja yang masih menganggur bisa terserap maksimal. Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat Pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya. Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) itu mencontohkan sejumlah klaster berkaitan dengan kelapa sawit.
Pertama, klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha, berkaitan dengan izin lokasi (perizinan dasar), perizinan lokasi menggunakan peta digital (RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). RDTR ini menjadi kunci untuk administrasi. Kemudian, pengintegrasian Rencana Tata Ruang (matra). Kedua, klaster Pengadaan lahan. Tujuannya untuk mempercepat proses pengadaan tanah dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf dan tanah asset. Kementerian ATR/BPN membantu instansi yang memerlukan tanah, dalam menyusun DPPT (dokumen perencanaan pengadaan tanah). “Jangka waktu berlakunya penetapan lokasi (penlok) diberikan selama tiga tahun dan bisa diperpanjang tanpa memulai proses dari awal. Kepemilikan saham dan lahan pengganti sebagai bentuk ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum,” pungkasnya.(jpn/red)