Monevonline.com– Power Sumber Daya Alam Indonesia belum terkelola produktif. Kesalahan bukan pada Sumber Daya Manusianya, tapi kenyataan berpendapat Indonesia tidak memiliki limpahan dana untuk mengelola kekuatan alam, termasuk juga di Provinsi Lampung.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila, Dr. Nairobi, S.E., M.Si mengungkap, sebagian masyarakat Lampung masih miskin, padahal potensi alam daerah ini mulai pertambangan, perikanan dan kelautan, pertanian, hingga pariwisata.
Yang diungkap Dr. Nairobi sejalan dalam catatan Badan Pusat Statistik Lampung. Jumlah penduduk miskin atau penduduk yang pengeluaran per kapita per bulannya di bawah Garis Kemiskinan di Lampung mencapai 1,01 juta orang (11,67 persen) dari jumlah 9.081.792 jiwa pada bulan September 2021.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2021 sebesar 8,50%. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2021 sebesar 13,18%.
Dalam satu bidang mata pencaharian, yakni perikanan ada contoh sahih kesengsaraan dalam hamparan luas lautan.
Nelayan di Sukaraja kota Bandar Lampung kekurangan tangkapan ikan. Para nelayan hanya mendapat 50 kilogram ikan dalam sekali mayang. 50 kg itu akan dibagi 5-6 orang. Hitungannya satu nelayan dapat 5-10 ribu rupiah saja.
Lalu contoh di sektor wisata yang tersebar di kawasan Kabupaten. Potensi keindahan laut di pesisir Pesawaran dan Tanggamus masih memprihatinkan dari segi infrastruktur mau pun kuliner, penginapan serta fasilitas dan wahananya, meski kita tahu bersama ada dana desa dan Pokdarwis.
Potensi pedesaan Lampung juga mempuni. Di daerah Pringsewu, Monev pernah mengunjungi centra kain percak, bata hingga genting. Akan tetapi infrastrukturnya masih belum bisa dikatakan layak, sebab tidak semua kendaraan nyaman melaju di jalan sempit dan kecilnya.
Selain lubang yang cukup dalam, pengendara harus pandai menghitung lebar jalan ketika berpapasan dengan kendaraan lain, apalagi kala berpapasan dengan kendaraan berjenis truk.
Dari segi pariwisata, Lampung bukan tak memiliki keelokan yang berkesan. Pesisir Barat hanya sepotong keindahan di Lampung. Daerah ini punya Gigi Hiu, air terjun Makkunyanak di Tanggamus, Air terjun Putri Malu di Way Kanan hingga deretan pantai sepanjang kawasan pesisir Pesawaran. Belum lagi gunung-gunung hijau di Kabupaten itu.
Dari perkebunan, Lampung juga mempunyai wisata edukasi Kebun jambu Kristal di Tanggamus. Namun pertanyaan dari ini semua, apakah sudah ada pengelolaan maksimal?
Jawaban dari ini adalah, nelayan sukaraja mengharap uluran tangan pemerintah. Potensi ragam centra industri pedesaan juga perlu infrastruktur dan mekanisme promosi, penetapan harga, penjualan hingga produktifitas.
Sektor pariwisata pun demikian. Pemerintah hanya membekali mereka wawasan tentang penyediaan Home Stay, tata cara menerima tamu dan teori-teori yang membosankan. Lantas dari mana mereka memiliki dana untuk mengelola dan memperbaiki destinasi wisata di tempatnya? Apakah mengemis? Sumber dana mengelola sektor pendapatan ini mesti dipecahkan.
Masyarakat Lampung di sekitar area wisata masih kurang dalam urusan finansial. Mereka masih fokus mencari kehidupan sehari-hari, sehingga belum terbuka memikirkan tambahan penghasilan dari investasi pariwisata.
Suatu siang yang terik, mahasiswa bergerak ke Tugu Adipura kota Bandar Lampung. Para mahasiswa yang tergabung dalam “Sarikat Mahasiswa Indonesia” itu menyuarakan aspirasi terkait kebijakan ekonomi dan politik Neoliberalisme Pemerintah.
Mereka mengibarkan bendera. Satu persatu mereka bergantian menyuarakan keresahan. Satu yang Monev dengar, mereka ingin pemerintah “tidak terlalu mementingkan pemilik modal”. Namun ada pendapat lain dari Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, Dr. Nairobi.
Thailand dan Vietnam bergerak ke arah yang lebih maju karena pemerintahnya mengedepankan Tax Holiday. Pemerintah negara di Asia Tenggara itu mempermudah regulasi untuk mendatangkan investor.
Lampung tidak bisa sendirian dalam mengelola Sumber Daya Alam. Selain memerlukan pemikiran Akademik, daerah ini juga memerlukan Stimulan modal.
Kita bisa melihat perubahan di kawasan pantai Pesisir Barat. Perubahan itu terjadi seiring keterbukaan masyarakat sekitar terhadap kehadiran orang asing. Home stay dan villa berdiri indah namun tetap sederhana di sana. Pemiliknya ada yang pribumi, tapi ada juga orang luar negeri yang menikah dengan warga sekitar.
“Orang luar negeri tidak bisa memiliki tanah di Indonesia. Kalau mereka mau beli tanah, harus ada andil Orang kita. Kemungkinan orang-orang di Pesibar itu menikah dengan warga lokal,” tutur Dr. Nairobi.
Pribumi Pesisir Barat juga banyak yang membuka villa atau yang kecil-kecilan, yakni Home Stay di pinggir pantai. Dari situ banyak juga masyarakat sekitar yang bekerja dan menerima penghasilan dari kreatifitas, inovasi tersebut.
Selain itu, mereka juga bisa menjual makanan, minuman dan penyewaan papan surfing, penjualan baju hingga reparasi papan surfing.
Dr. Nairobi bercerita, pemodal bisa melihat potensi di tempat yang belum dikelola. Mereka bisa mendirikan hotel di sana, misal. Kemudian hotel itu ramai karena di dekatnya ada pantai atau keindahan alam yang lain. Nah setelah melihat ada banyak manusia yang hidup di sana, pemerintah bisa membangun infrastruktur jalan mau pun energi.
Tentu ini tidak bisa berjalan tanpa pendampingan Pemerintah juga. Potensi investasi jangka panjang ini memerlukan regulasi tepat guna yang menguntungkan warga Indonesia, sebagaimana yang diinginkan akademisi dan mahasiswa.
Pemerintah sendiri bukan tanpa jalan keluar. Sering terdengar dan terbaca dalam pemberitaan, pemerintah mengadan event nasioanal mau pun internasional. Akan tetapi ini dapat dikatakan sebagai seremoni atau program jangka pendek. Setelah festival, akan seperti apa gerakan masyarakat? Mereka akan bekerja seperti biasa karena tak memiliki daya untuk melakukan produksi, promosi atau mengadakan gelaran istimewa yang menyedot perhatian ragam kalangan dari berbagai daerah.
Alumni Fakultas Ekonomi, Chris Nababan juga senada dengan Dr. Nairobi. Masyarakat Lampung yang bertempat tinggal di kawasan potensi tidak sekadar memerlukan bekal ilmu akan tetapi modal. KUR saja tidak cukup. Pemerintah juga tak cukup hanya membuka kran investai, melainkan mencarikan pemodal untuk potensi-potensi itu.
Catatan mendatangkan pemodal, pemerintah dan warga Indonesia mesti bersikap ramah. Penekanan pajak dan embel-embel yang lain akan membuat ngeri pemodal.
Warga Indonesia pun mesti tahu diri, dalam artian “tidak ada pemodal yang berkenan menebar uangnya di daerah rawan kriminal”.
Mahasiswa juga tidak bisa terus-menerus menganggap Investasi asing sebagai pengeruk kekayaan alam Indonesia. Kenyataan berpendapat, Indonesia perlu sumber dana dan teknologi agar hasil alam ini bermanfaat bagi warga Indonesia mau pun Dunia. Namun pemerintah bersama kalangan akademisi mesti mengatur regulasi tepat guna.
Sedangkan masyarakat juga perlu melakukan pengawasan. Tujuannya mengamankan 75% kekayaan Indonesia untuk warganya sendiri.
(Alfa)