OJK Dibubarkan, Perlukah?

MONEVONLINE.COM, Jakarta – Ketua MPR Bambang Soesatyo mendukung DPR bersama pemerintah membubarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baik melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ataupun perangkat kebijakan lainnya.

Pria yang akrab disapa Bamsoet ini menganggap OJK gagal lantaran gagap atasi masalah industri jasa keuangan yang bersengkarut. Fungsi pengawasan dan hal lainnya yang melekat di OJK bisa dikembalikan kepada Bank Indonesia (BI).

“Skandal Jiwasraya hanyalah bagian kecil dari sengkarut yang menimpa OJK. Alih-alih menjadi pengawas yang kredibel dalam menjaga uang masyarakat yang berada di perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, pegadaian, dan lembaga jasa keuangan lainnya, OJK malah menjadi duri dalam sekam,” tegas Bamsoet dalam keterangan tertulis, Minggu (12/7).

Mantan Ketua DPR sekaligus Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini meminta DPR dan pemerintah untuk tidak ragu membubarkan OJK yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Menurutnya, lebih baik mengoreksi dibanding membiarkan kesalahan berlarut.

Dijelaskan Bamsoet bahwa pembentukan OJK tak lepas dari rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang mengambil contoh Financial Service Authority (FSA) di Inggris. Kenyataannya, FSA justru gagal menjalankan tugasnya dan mengakibatkan Inggris terpuruk krisis finansial global pada 2008. Hingga akhirnya Inggris membubarkan FSA pada 2013.

“Jadi bukan hal yang mustahil apabila dalam waktu dekat kita membubarkan OJK. Apalagi kini situasi OJK sedang di titik nadir lantaran mendapat sorotan dari DPR, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), maupun Ombudsman,” tutur Bamsoet.

Ia mencontohkan dalam permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB), BPK menyebut OJK tak melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) kepada jajaran pengelola statuter yang ditunjuk untuk merestrukturisasi AJBB, sehingga menyalahi UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2018, BPK menemukan penerimaan pungutan OJK pada 2015-2017 sebesar Rp493,91 miliar belum diserahkan ke negara, penggunaan penerimaan atas pungutan melebihi pagu sebesar Rp9,75 miliar, gedung yang disewa dan telah dibayar Rp412,31 miliar tetapi tidak dimanfaatkan, utang pajak badan OJK per 31 Desember 2017 sebesar Rp901,10 miliar juga belum dilunasi.

“Di skandal Jiwasraya dengan gamblang menunjukan betapa lemahnya self control mekanisme pengawasan di internal OJK. Sudah saatnya fungsi pengawasan dan hal lainnya yang melekat di OJK dikembalikan kepada Bank Indonesia,” tegas Bamsoet.

Dia berkaca pada pengalaman FSA Inggris yang tak mampu mendeteksi kondisi keuangan bank penyedia kredit perumahan The Northern Rock. “Setelah membubarkan FSA pada tahun 2013, Inggris mengembalikan sistem pengawasannya ke bank sentral,” tutupnya.

Sementara mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan tidak setuju jika lembaga pengawas tersebut harus dibubarkan.

Ia menilai, OJK harus diberi waktu agar bisa kembali menunjukkan taringnya. Bukan justru sebaliknya, membuat jantung pegawai OJK berdebar-debar.

“Isu penggabungan kembali OJK ke dalam Bank Indonesia memang harus diabaikan. Setidaknya sampai tiga tahun ke depan. Terlalu banyak pekerjaan lebih sulit yang harus dihadapi sampai tahun 2023. Dalam situasi sulit seperti ini tidak baik kalau kita hanya sibuk berheboh-heboh,” kata Dahlan pada tulisan berjudul OJK Risma.

Seakan tidak ingin sendiri, Ia menunjukkan sejumlah tokoh yang berdiri dalam menentang pembubaran OJK. Sebagai lembaga pengawas, keberadaannya dinilai masih dibutuhkan.

“Semua ahli ekonomi tidak ada yang mendukung pembubaran itu. Baik yang di Zoominar Institut Narasi, maupun yang menghadirkan Mantan Menkeu Chatib Basri dua hari lalu,” paparnya. (net)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *