MONEVONLINE.COM, Lampung – Aksi agresif polisi pada jurnalis yang terjadi saat peliputan demo UU Ciptaker tidak dibenarkan.
“Ini mengarah ke agresi instrumental. Kekerasan untuk memperoleh manfaat atau tujuan tertentu,” kata Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, Sabtu (10/10/ 2020).
Reza mengatakan, manusia punya respons spontan dalam keadaan terpojok, sehingga muncul ekspresi impulsif, agresi, dan emosional. Namun hal tersebut tak bisa begitu saja dilakukan polisi. Sebab aparat penegak hukum punya toleransi terhadap situasi tak menyenangkan. Jika hal tersebut dilakukan, maka ada kesengajaan.
“Unsur itulah yang kemungkinan lebih kuat melatari munculnya perilaku agresif, berupa perampasan peralatan jurnalistik ditujukan untuk meniadakan bukti unsur tersebut,” kata Reza.
Sementara pengamat intelijen, Stanislaus Riyanta menuturkan polisi seharusnya dibekali pengetahuan terkait kerja jurnalistik yang dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Korps Bhayangkara dan media harus berkoordinasi agar tak terjadi peristiwa serupa.
“Polri perlu dikenalkan tugas wartawan. Dan sebaliknya, wartawan juga dikenalkan tugas polisi, agar saling memahami tugas pihak-pihak yang akan berhadapan atau berdampingan di lapangan,” ujarnya.
Sementara itu, oknum polisi yang melakukan tindakan kekerasan hingga perampasan kerja wartawan perlu diperiksa. Jika terbukti melakukan tindak kekerasan, maka pihak Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri harus menindak keras oknum tersebut.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Lampung membuka posko pengaduan kekerasan terhadap jurnalis.
Pembukaan posko itu merespons kekerasan terhadap sejumlah jurnalis saat meliput aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law pada Rabu dan Kamis, 7-8 Oktober 2020.
Data sementara, setidaknya empat jurnalis mengalami kekerasan sepanjang demonstrasi pada Rabu dan Kamis. Para juru warta itu mendapat serangan secara fisik maupun verbal ketika mengambil gambar atau video tindakan represif aparat terhadap demonstran.
Rabu, 7 Oktober 2020, Syahrudin (jurnalis lampungsegalow.co.id) dan Heridho (jurnalis Lampungone.com) mendapat intimidasi dari oknum polisi berpakaian preman di Jalan Wolter Monginsidi, Telukbetung. Waktu itu, keduanya meliput kericuhan antara para pedemo dengan aparat. Mereka merekam aksi aparat yang sedang memukuli siswa SMA menggunakan besi dan kayu. Kemudian, oknum polisi membentak mereka dan memaksa agar menghapus rekaman video.
Kamis, 8 Oktober 2020, Hari Ajahar (jurnalis Radar Lampung Radio) dan Angga (jurnalis Metro TV) mengalami intimidasi ketika meliput aksi sweeping oleh anggota kepolisian. Waktu itu, mereka mengambil video penyisiran sejumlah titik, di mana aparat menghalau pelajar yang hendak mengikuti aksi di Bundaran Tugu Adipura. Mereka kemudian dipaksa oknum polisi untuk menghapus foto dan rekaman video aparat memukuli para siswa.
Menanggapi hal tersebut, Ketua IJTI Lampung Hendri Yansah mengecam tindakan anggota kepolisian yang mengintimidasi dan mengancam jurnalis saat meliput aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law.
Menurutnya, polisi berlaku semena-mena terhadap wartawan. Padahal, pekerjaan jurnalis dilindungi UU 40/1999 tentang Pers.
“IJTI mengimbau rekan-rekan wartawan untuk berhati-hati saat meliput di lapangan. Selain itu, polisi harus memberi perlindungan dan mesti tahu yang mana wartawan dan pedemo,” kata Hendri.
Hal senada disampaikan Ketua AJI Bandar Lampung Hendry Sihaloho. Dia mengingatkan kepolisian untuk menghormati UU Pers. Keberadaan jurnalis di lapangan hendak melaporkan realitas demonstrasi penolakan Omnibus Law kepada publik.
“Kami meminta kapolda untuk memproses anggotanya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Tahun lalu, pada aksi #ReformasiDikorupsi, belasan jurnalis menjadi korban kekerasan ketika merekam aksi represif aparat terhadap demonstran. Sebagai pejabat negara yang profesional, Kapolda mesti segera mengambil tindakan tegas,” ujarnya.
AJI dan IJTI meminta para jurnalis yang mengalami kekerasan dalam bentuk apa pun segera melapor. Begitu pula dengan masyarakat yang mengetahui aksi kekerasan terhadap wartawan pada unjuk rasa menolak Omnibus Law. Jurnalis dan masyarakat dapat menghubungi nomor 082377000045 dan +62 831-6931-9093.(red)