Pemerintah Perlu Berikan Insentif Kelompok Nelayan, Kelola Ekosistem Pesisir Muhammad Alfariezie

Monevonline.com, Setelah viral karena jalan rusak, pada akhiran Juli 2023 giliran pesisir provinsi Lampung ditarget penggiat konten media sosial untuk mencari atensi netizen mau pun penguasa.

Benar saja, karena telah viral akibat serakan dan tumpukan sampah maka permasalahan kotoran pesisir menimbulkan kontroversi karena pernyataan para pejabat negara tentang siapa yang harus bertanggungjawab mengelola dan menjaga kebersihan pantai di tiap pesisir wilayah ini.

Hehehehe, ada-ada saja dan selalu saja ada yang jahil menyentil kinerja pemerintah sehingga viral dan menjadi atensi, tendensi serta kontroversi publik. Seperti sampah-sampah berserakan di pesisir pantai Lampung itulah. Karena viral, ramai-ramai warga serta penggiat media sosial berbondong datang dari luar daerah untuk turut meramaikan juga mewarnai kelalaian bersama.

Yes, begitulah mukadimahnya. Sekarang mari kembali masuk persoalan lingkungan pesisir pantai yang kotor dan terkesan dibiarkan, perlu diingat, baik pemerintah mau pun warga lokal.

Khusus di pesisir pantai Kota Bandar Lampung, sampah plastik sebenarnya telah diperhatikan pemerintah. Tahun 2019 saja, pemerintah kota Bandar Lampung bersama nelayan setempat bergotong royong membersihkan sampah. Tapi tetap saja, namanya laut angit pasti kenceng, menurut salah satu lirik lagu Jamrud, yeah.

Tidak ada yang bisa disalahkan atas banyaknya sampah di pesisir pantai karena aruslah yang membawa limbah industri dan rumah tangga mengotori pasir putih pantai yang agak kecoklatan dan kadang berkilauan garam matahari.

Sebenarnya ada yang lebih urgent bagi pesisir pantai kota Bandar Lampung yang viral pada bulan Juli 2023. Dosen jurusan perikanan fakultas pertanian Unila, Dr. Indra Gumay Yudha mengatakan, perairan Bandar Lampung tercemar limbah industri hingga rumah tangga—

Menyebabkan biodatanya turut tercemar dan kemudian mengalami penyusutan perkembangbiakan.

Dr. Indra telah melakukan penelitian. Polutan berupa logam-logam berat diketahui dapat menyebabkan keracunan, kelumpuhan, kelainan genetik, hingga kematian.

Berdasar kajiannya pada tahun 2007, badan sungai, sumur penduduk dan perairan laut pesisir Bandar Lampung mengandung logam berat Pb, Hg, Cu dan Cd.

Perairan di depan reklamasi PT BBS, perairan di sekitar Pelabuhan Peti Kemas Panjang, di sekitar Pulau Kubur dan Pantai Puri Gading mengalami pencemaran logam berat yang jumlahnya melebihi baku mutu untuk biota laut setempat.

Sedangkan kandungan logam Cu diketahui telah melebihi baku mutu pada beberapa lokasi pengukuran, yaitu di perairan di sekitar Pelabuhan Srengsem, di tengah laut, perairan Pulau Kubur, perairan di PPP Lempasing, di sekitar pantai Puri Gading, dan di perairan Pulau Pasaran.

Kemudian keberadaan logam Cd telah melebihi baku mutu pada lokasi pengukuran di perairan lahan reklamasi PT BBS, di perairan Gudang Lelang, perairan Pelabuhan Peti Kemas, dan pantai Puri Gading.

Bahkan hasil penelitian & pengabdian kepada masyarakat, Unila, 2009 B-30— di perairan sekitar lahan reklamasi PT BBS terdapat kandungan Cd yang telah mencapai 0,026 ppm atau sekitar 26 kali lipat dari ketetapan baku mutu.

Selain itu, rata-rata pedagang di centra penjualan ikan teri dan asin di Pulau Pasaran dan TPI Lempasing mengaku mendapatkan pasokan dari Labuhan Maringgai karena ada pencemaran di lokasi sekitarnya.

Perairan laut Lampung sangat memerlukan kepedulian. Bisa dengan memberdayakan kelompok-kelompok nelayan, asalkan pemerintah juga merumuskan peraturan yang menjamin insentif mereka sehingga bertanggung jawab atas tata kelola ekosistem pesisir.

Selain itu, pemberdayaan dan pemberian insentif bagi kelompok nelayan agar mereka dapat bertanggungawab dalam menjaga dan melaporkan tindak pencemaran lingkungan yang disebabkan industri ataupun kenakalan warga serta nelayan setempat yang membuang atau menumpahkan bahan bakar kapal ke laut.

Salah satu ketua kelompok nelayan di Sukaraja Bandar Lampung Maryudi mengatakan, warga di sana membuang sampah di belakang rumahnya sehingga terseret arus hingga memenuhi (menyesaki) pantai di pesisir dan yang memprihatinkan di sana tidak ada sokli.

Hasilnya sama seperti yang telah diteliti Dr. Indra tentang pencemaran air laut yang dapat menyusutkan perkembangbiakan ikan. Kini, hasil tangkap yang dulu bisa kwintalan sekali mayang, sekarang di tahun 2023 hanya puluhan kilo.

“Sekarang ini ikan pun sering mabok. Kalau sekarang ini, ikan kembung kalau sudah di pinggir dia mental-mental. Belut juga pada bekeluaran dia,” katanya.

Sayangnya, memang benar yang dilakukan pegiat media sosial memviralkan serakan sampah yang menumpuk di pesisir pantai Lampung karena berdasar pengakuan Maryudi—

Dinas Perikanan dan Kelautan sama sekali tidak pernah mengecek kondisi air dan kalau pun memberi bantuan, hanya ala kadar sebab tidak semua nelayan mendapat alat yang diperlukan sesuai kondisi dan metode yang diterapkan ketika menangkap hasil laut.

Bukan agak, tapi bertolak belakang dari permintaan pemerintah provinsi yang mencanangkan program gemarikan atau gerakan makan ikan. Industri telah didirikan dalam kawasan pesisir, terutama di Bandar Lampung sehingga perairannya tercemar. Tapi enteng banget pemerintah mencanangkan gemarikan tanpa memikirkan apatah lagi melalukan transformasi pengelolaan perairan laut, terutama agar terhindar limbah dan serakan sampah.

Rasanya tidak berlebihan memaksimalkan peran kelompok nelayan untuk menjaga kebersihan pesisir, dengan catatan mesti juga mengalokasikan anggaran untuk memberikan insentif bagi mereka yang telah rela mengeluarkan keringat, pikiran dan nyawa demi keberlangsungan ekosistem laut.

Tugas kelompok nelayan ini adalah menjaga pesisir pantai dari aktifitas-aktifitas yang merugikan, seperti pembuangan limbah pabrik yang mengarah ke laut dan menjaga ekosistem perairan dari kenakalan warga sekitar yang membuang sampah tidak pada tempatnya, yakni membuang sampah di sekitar laut yang berada tepat di belakang rumahnya.

Kelompok-kelompok nelayan yang ada juga mesti dipersiapkan menyusun program sosialisasi dan edukasi tentang bahaya pencemaran lingkungan serta langkah-langkah pencegahan dengan didampingi akademisi serta badan pengawas eksekutif sehingga dapat juga merumuskan peraturan dan sanksi-sanksi tegas, pidana bila perlu.

Selain itu, kelompok-kelompok nelayan yang dibentuk juga dibekali cara-cara atau upaya-upaya pelestarian dan penanaman terumbu karang sehingga mereka benar-benar dapat diandalkan dalam mengelola lingkungan laut.

Kelompok nelayan inilah yang nantinya berperan besar dalam menjaga eksosistem laut dari eksploitasi tambang pasir dan ilegal fishing serta pembuangan limbah industri maupun rumah tangga, karena itu—

Sangat penting dan sudah semestinya pemerintah daerah memaksimalkan peran kelompok nelayan yang diimbangi pemberian insentif dan jaminan kesehatan sehingga yang dikerjakan benar-benar optimal.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia juga memiliki jargon yang barangkali telah punah, yaitu “nenek moyangku seorang pelaut”. Jangan sampai justru negara pemilik lautan terbesar terpuruk karena kotoran.

Perlu diingat, India pemilik sungai Gangga yang dianggap suci telah menjadi atensi dunia karena limbah di dalam perairan itu sendiri. Penyebabnya adalah karena ulah warga setempat yang menanggap sungai itu mandiri.

Apa jadinya laut yang ada di Indonesia andai masyarakatnya berpikir layaknya orang India. Tentu sumber daya alam yang mestinya menjadi sumber penghidupan, justru menjadi sumber malapetaka seperti bau tak sedap, abrasi hingga penyakit. Belum lagi jika bicara eksploitasi tambang pasir laut untuk dijual ke luar negeri.

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *