Monevonline.com, Lampung Selatan – Adanya indikasi penggunaan batu ilegal, dalam proyek pembangunan water break di Pantai Pesisir Kalianda-Rajabasa Lampung Selatan (Lamsel), memantik kritik pedas dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung.
Menurut Walhi, galian c yang diperuntukan dalam bentuk apapun, sudah semestinya memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Terlebih, sebagai bahan material proyek nasional.
Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri menegaskan, adanya indikasi penggunaan batu hasil pertambangan ilegal di proyek water break pesisir pantai Lamsel, semestinya menjadi atensi khusus bagi pemilik kegiatan yakni Kementrian PUPR RI.
“Sudah seharusnya, pihak Kementrian PUPR bisa memastikan bahwa pelaksanaan proyek tersebut memenuhi perizinannya. Kalau indikasi itu (dugaan penggunaan batu ilegal, red) benar, Kementrian PUPR harus melakukan pemeriksaan. Atau bahkan pemberhentian pengerjaan yang dilaksanakan perusahaan,” Ketusnya, melalui percakapan telepon genggam sore tadi, Senin (22/3/2021).
Irfan menegaskan, penambangan batu ilegal dapat dipidana sesuai peraturan Undang – Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan PP nomor 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Minerba.
“Pelaku bisa dipidana. Perusahaan pelaksana pembangunan juga bisa dihentikan,” Tegasnya.
Diketahui, batu hasil galian C yang digunakan dalam pembangunan water break pesisir Lamsel, disuplay oleh beberapa subkon, yang menjalin kerjasama dengan PT Basuki Rahmatan Putra (BRP). Mengenai hal itu, Ifran menegaskan tidak ada urusan.
“Yang melakukan kontrak kerja adalah perusahaan pelaksana (PT BRP, red) dengan kementerian. Jadi, kalaupun pada pelaksanaanya terdapat subkon yang mensuplay material, harusnya pihak perusahaan pelaksana dapat memastikan bahwa subkon tersebut memenuhi izin. Bukan malah seperti tidak tahu menahu,” Terus Irfan.
Melihat kondisi ini, Walhi seraya mendapat atensi untuk melakukan kontroling ke lokasi pelaksanaan proyek pembangunan water break di Lamsel. Dikatakan Irfan, dalam waktu dekat pihaknya akan monitoring terkait perkembangan situasi ini.
“Kita monitor ya. Dalam waktu dekat kita akan turun kelapangan untuk memastikan pelaksanaan pembangunan water break di Lamsel ini. Baik di lokasi pembangunan maupun soal kegiatan subkon dalam mensuplay material di proyek tersebut,” Tutupnya.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, proyek water break tersebut menggunakan batu hasil galian C yang diduga tidak memiliki izin (ilegal).
Proyek yang menelan biaya kontrak sebesar Rp67.786.021.602 ini, disuplai material batu dari 4 suplier atau disebut Subkon. Empat Subkon itu melakukan eksplorasi galian C yang berada di beberapa desa di Kalianda dan Rajabasa. Kecamatan Rajabasa, 2 titik penambangan di Desa Banding, 1 titik di Desa Sukaraja dan 1 titik di Desa Maja Kecamatan Kalianda.
Sementara, saat dikonfirmasi monevonline.com, penanggung jawab lapangan PT BPR, Tambunan berkilah. Saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Tambunan mengaku bahwa persoalan izin galian batu bukan merupakan urusan dia.
“Untuk masalah galian, saya rasa langsung kesupkon aja atau tempat galian. Matrial batu kita terima ditempat. Masalah izin sudah urusan kantor pusat dengan subkon. Jadi masalah izin bukan kesaya,” Kilahnya. (Doy)