MONEVONLINE.COM, JAKARTA – Kementerian Keuangan mencatat harga komoditas masih terus bergerak naik di tengah penguatan permintaan global. Peningkatan harga komoditas yang sangat tinggi ini turut menyelamatkan penerimaan kas negara.
“Commodity price melanjutkan kenaikannya sejak awal tahun. peningkatan PMI dan harga komoditas menunjukkan tren pemulihan global. Dan turut direspons OECD dan World Bank yang merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan global,” ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pada konferensi pers APBN Kita edisi Juni 2021, dikutip Selasa (22/6/2021).
Untuk diketahui, OECD dan World Bank meningkatkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2021 dan 2022.
Forecast dari OECD untuk pertumbuhan ekonomi 2021 di negara G20 mencapai 6,3% dan untuk Indonesia 4,7%. Sementara untuk 2022 forecast pertumbuhan ekonomi untuk negara G20 sebesar 4,7% dan untuk Indonesia mencapai 5,1%.
Sementara World Bank memproyeksikan ekonomi global pada 2021 mencapai 5,6% dan forecast untuk 2022 mencapai 4,3%.
Kenaikan harga komoditas itu, kata Sri Mulyani yang juga mendorong realisasi penerimaan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) pada Mei 2021 tumbuh signifikan. Realisasi penerimaan tumbuh didorong kinerja positif seluruh komponen penerimaan.
Tercatat penerimaan Kepabeanan dan Cukai pada Mei 2021 sebesar Rp 99,32 triliun atau sudah mencapai 46,2% dari target APBN 2021 yang sebesar Rp 215 triliun atau tumbuh 21,6%.
Bea masuk tumbuh 3,56%, dipengaruhi tren kinerja impor nasional yang meningkat, terutama sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan
Kemudian, cukai tumbuh 11,9%, didorong pertumbuhan cukai hasil tembakau (CHT) yang dipengaruhi limpahan pelunasan kredit pita cukai dari akhir tahun 2020 dan kebijakan penyesuaian tarif pita cukai.
Kemudian Bea Keluar tumbuh 844,6%, didorong peningkatan ekspor komoditi tembaga dan tingginya harga produk kelapa sawit. Bea masuk dan dari jumlah devisa bayar naik 21,5% dan bea keluar tumbuh 844% disumbang dari tembaga dan produk kelapa sawit.
“Produk kelapa sawit ini naik 2.200% (yoy), karena tarif bea keluar yang lebih besar di 2021 dan pengenaan bea keluar pada produk turunnya (pengaruh tingginya harga referensi CPO),” jelasnya. (*)