Monevonline.com, Seni dan budaya Lampung bukan hanya berkarakteristik, tapi sangat kaya karena mampunyai bahasa, aksara, hingga warisan budaya tak benda, yakni tapis.
Dosen seni University of Michigan, Amerika Serikat, Mary-Louise Totton telah melakukan penelitian dan menerbitkan buku yang tebalnya 188 halaman, berisi tentang tapis.
Selain itu, koleksi Raswan Tapis sudah diperkenalkan hingga ke Iran, Turkey, Swiss sampai Belanda. Siapa yang tak tergiur melihat dan memiliki tapis. Salah satu identitas ulun Lampung itu bahkan dijadikan nilai tambah ekonomi bagi suku-suku pendatang, sebut saja warga bersuku jawa yang bermukim di kab. Tanggamus.
Monev berkesempatan berbincang dengan pemerhati Tapis, Rustam Effendi. Ia akrab disapa Bung Tam. Ceritanya, pernah menerima telpon dari Profesor di Surabaya yang mengkhawatirkan perihal negara tetangga di Asia Tenggara sudah ancang-ancang merebut tapis menjadi warisan budaya mereka.
Profesor menyarankan Bung Tam mendirikan Kampung Tapis yang berisi orang-orang sedang menyulam, jualan kain-kain tapis, pernak-pernik tapis yang juga bisa dijadikan souvenir.
“Kalau ditanya kenapa harus ada kampung tapis, ya karena ini kebudayaan tinggi. Pada massanya, tapis dijadikan penutup aurat perempuan Lampung. Tidak sembarangan, ada ketentuan-ketentuan menggunakan kain tapis,” jelas Bung Tam.
Selain penting untuk mewujudkan museum eksklusif tapis, pelajaran tata cara penggunaan tapis bisa dikatakan wajib bagi perempuan Lampung.
Merujuk pendapat Bung Karno tentang “Jas Merah” maka pertanyaan dari itu, kenapa perempuan Lampung tidak bangga memiliki pakaian yang dibuat menggunakan benang emas?
Ini pendidikan fundamental perempuan Lampung perihal kebudayaannya. Bagaimana perempuan Lampung mengisahkan kepada ana-anak mereka kelak, andai pelajaran tentang tapis yang mencakup sejarah hingga aturan yang mengikat tidak mereka ketahui?
Dan sayang sekali, pemerhati tapis yang baru dapat Monev temui justru dari kalangan laki-laki, yakni Raswan Tapis dan Bung Tam– meski ini bukan masalah, tapi kita perlu mengingat sejarah, Tapis adalah pakaian untuk perempuan.
Akan tetapi sekarang bukan lagi tentang itu. Lampung akan menjadi objek pariwisata karena keindahan alam dan akses yang mudah. Tiap sulaman merupakan peluan ekonomi, bahkan hingga nanti ada teknik modern pembuatan tapis pun tetap peluang.
“Istilah klasik pariwisata adalah sapta pesona yang di dalamnya termuat tentang souvenir. Tak menutup kemungkinan, pengrajin tapis melihat peluang ini,” kata Bung Tam.
Monev berpendapat, pemprov mesti mendorong pemkot dan pemkot agar instansi-instansi terkait melakukan diploasi ekonomi antara Lampung, Jogja dan Bali.
Jogja populer bersama Dagadu dan Bali populer dengan Jogger hingga ada istilah siapa pun yang ke dua daerah itu belum lengkap tanpa membawa produk dari dua merk dagang tersebut.
Tujuan diplomasi ekonomi pariwisata ini untuk mencari tahu pangsa pasar ekraf, harga produk, bahan dasar produk, promosi budaya dan destinasi hingga branding merk dagang.
Diplomasi ekonomi ini juga adalah salah satu jawaban atas keresahan pemerhati tapis, Bung Tam. Dia melihat banyak kain tapis lama yang diambil orang luar negeri.
“Mungkin karena pemiliknya merasa tapis itu sudah kuno. Padahal kenyataannya, itu menarik perhatian orang luar negeri,” ujarnya.
Menggunakan cara-cara modernisasi, kita bukan hanya menyelamatkan tapis dari kepunahan, tapi menjadikan tapis sebagai objek pendapatan nilai ekonomi.
Melalui Museum, kita juga memberi penglihatan kepada warga dunia tentang nilai tertinggi kebudayaan Lampung.
Melalui pendidikan, perempuan Lampung bisa mengajarkan hingga mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam Tapis kepada anak cucunya.
(Alfariezie)