MONEVONLIN.COM – Guna memperoleh data dan informasi terkait persiapan sekolah dalam menyambut pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021, Direktorat Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan survei yang berlangsung pada 4-27 Desember 2020.
Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud Sri Wahyuningsih mengatakan, tujuan dari pemetaan ini untuk melihat sejauh mana kesiapan sekolah dalam pembelajaran tatap muka yang akan dilaksanakan.
Melalui survei yang dilakukan secara daring melalui google form tersebut, Tim Survei Persiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud telah mendapatkan tanggapan sebanyak 21.730 responden.
Responden dalam survei ini sendiri adalah kepala sekolah atau yang mewakilinya pada jenjang sekolah dasar di Indonesia. Kepala sekolah dipilih karena menjadi pengambil atau penentu kebijakan yang strategis di satuan pendidikan.
Berikut hasil survei terkait kesiapan pembelajaran tatap muka di sekolah dasar, melansir laman resmi Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud, Selasa (5/1/2020):
1.Fasilitas toilet bersih
Sri menyampaikan, dari hasil survei secara umum sekolah sudah mengetahui dan membaca Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri.
Selain itu hasil survei juga menunjukkan sekolah pada umumnya sudah memiliki toilet atau jamban bersih. Hal tersebut terlihat dari jawaban responden sebesar 97,1 persen yang menyatakan hal tersebut.
“Sedangkan sisanya sebesar 2,9 persen menyatakan tidak memiliki toilet atau jamban bersih di sekolah. Jumlah toilet atau jamban bersih yang dimiliki sekolah sangat bervariasi, namun yang paling banyak berkisar antara 1-5 unit jamban/toilet di setiap sekolah,” papar Sri Wahyuningsih.
2.Sarana cuci tangan
Dalam menghadapi pandemi Covid-19, Direktur SD mengatakan satuan pendidikan memang sudah menyiapkan sarana cuci tangan pakai sabun (CTPS) atau hand sanitizer di sekolahnya, di mana jumlah sarana CTPS di masing-masing sekolah sangat bervariasi disesuaikan dengan banyaknya rombel dan kemampuan kapasitas finansial atau anggaran sekolah.
“Namun secara persentase paling banyak memiliki 6 sampai 10 sarana CTPS di sekolah. Meskipun banyak sekolah yang sudah menyiapkan sarana CTPS, tapi masih ada pula sebagian sekolah yang belum menyiapkannya dikarenakan terbatasnya dana BOS di sekolah karena jumlah peserta didik yang sedikit dan tidak adanya akses air di sekolah,” katanya.
3.Alat disinfektan
Hasil dari survei juga menunjukkan sebanyak 92,4 persen satuan pendidikan telah memiliki alat disinfektan untuk keperluan sterilisasi sekolah, di mana jumlah alat disinfektan di masing-masing sekolah sangat bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan kapasitas finansial alias anggaran sekolah.
Namun secara persentase, paling banyak alat dIsinfektan yang dimiliki sekolah berkisar 1-5 buah.
“Meskipun banyak sekolah yang sudah memiliki alat disinfektan, tapi sebanyak 7,6 persen belum memiliki alat disinfektan dikarenakan terbatasnya dana BOS di sekolah karena jumlah peserta didik yang sedikit. Harga alat yang relatif mahal dan baru akan dianggarkan pada RKAS 2021,” ujar Sri.
Sementara itu sebanyak 94,7 persen responden menjawab bahwa mereka sudah melakukan penyemprotan lingkungan sekolah dalam rangka sterilisasi.
Intensitas sterilisasi yang dilakukan paling banyak adalah 1-5 penyemprotan dalam sebulan. Sekolah yang belum atau tidak melakukan penyemprotan beralasan tidak memiliki alat disinfektan, belum adanya instruksi dari dinas pendidikan setempat, dan keterbatasan anggaran.
4.Akses ke faskes
Selain itu, sebesar 94,8 persen responden juga menjawab bahwa sekolah mampu mengakses fasilitas kesehatan, karena memang lokasinya yang cukup dekat, bahkan banyak faskes yang jaraknya kurang dari 100 meter dari sekolah.
Sementara sekolah yang tidak mampu mengakses fasilitas kesehatan dikarenakan jarak yang sangat jauh dan akses jalan yang sangat sulit.
5.Area wajib masker
“Dari hasil survei juga kita dapatkan sebanyak 99,8 persen responden menyatakan siap menerapkan area wajib masker kain di lingkungan sekolah,” papar Sri.
Bagi yang belum siap, lanjut dia, alasannya adalah sekolah tidak mampu membeli masker karena dana BOS yang terbatas (jumlah peserta didik sedikit), kemampuan ekonomi orang tua/wali murid yang terbatas, kesadaran warga sekolah yang masih rendah terkait penggunaan masker, sulitnya mengatur/mendisiplinkan siswa untuk menggunakan masker serta lokasi daerah yang terpencil, sehingga tidak perlu menggunakan masker.
Semenara itu, hanya sebesar 27,1 persen responden sekolah inklusif yang memiliki peserta didik disabilitas rungu menyatakan sudah menyiapkan masker tembus pandang.
Sisanya sebesar 72,9 persen menyatakan tidak/belum menyiapkan. Alasannya karena barang yang tidak tersedia di pasaran atau sulit untuk didapatkan di daerah, sekolah tidak menganggarkannya di RKAS, belum ada perintah untuk menyediakan masker tembus pandang oleh dinas pendidikan setempat.
Termasuk harga yang relatif mahal jika dibandingkan dengan masker biasa, sekolah tidak mampu membeli masker karena dana BOS yang terbatas (jumlah peserta didik sedikit), dan kemampuan ekonomi orang tua/wali murid yang terbatas.
6.Termogun
Sri juga memaparkan, sebesar 95,8 persen responden menjawab bahwa sekolah telah memiliki thermogun. Jumlah thermogun yang dimiliki sekolah sangat bervariasi tergantung pada kebutuhan dan kemampuan anggaran sekolah.
Secara persentase, jumlah yang paling banyak dimiliki sekolah berkisar antara 1-5 buah.
“Bagi sekolah yang tidak atau belum memiliki thermogun dikarenakan belum dianggarkan pada RKAS 2021, keterbatasan anggaran, harga yang relatif mahal, barang yang sulit di pasaran/tidak tersedia di daerah,” ujar Sri.
7.Pendataan riwayat kesehatan warga sekolah
Dan sebagian besar atau 78,1 persen responden menjawab bahwa mereka telah melakukan pendataan warga satuan pendidikan yang memiliki riwayat penyakit, sedangkan sisanya sebesar 21,9 persen menyatakan tidak atau belum melakukannya.
Alasan yang dikemukakan oleh responden di antaranya:
- Kurang terbukanya warga sekolah terkait riwayat penyakitnya.
- Belum ada instruksi dari dinas pendidikan setempat.
- Di masa pandemi, sekolah belum masuk, sehingga belum bisa untuk mendata karena di daerah tidak ada internet/ orang tua tidak memiliki handphone.
- Menganggap bukan tupoksi sekolah untuk melakukan pendataan, tapi ini merupakan tugas dari petugas kesehatan (puskesmas/dinas kesehatan).
Sebanyak 65,7 persen responden dari hasil survei juga menjawab bahwa sekolahnya telah melakukan pendataan warga satuan pendidikan yang memiliki riwayat perjalanan dari zona oranye dan merah serta belum menyelesaikan isolasi mandiri selama 14 hari.
8.Satgas satuan pendidikan
Sebanyak 70 persen responden menjawab bahwa sekolahnya telah membentuk satgas satuan pendidikan.
Namun sebesar 30 persen menyatakan belum membentuk satgas dengan alasan baru akan dibentuk pada saat pembukaan sekolah tahun 2021.
Termasuk tidak adanya instruksi/arahan dari dinas pendidikan setempat, banyak yang belum paham terkait pembentukan satgas di sekolah, kurangnya SDM yang sesuai/mumpuni untuk pembentukan satgas dan kesibukan orang tua/wali murid.
9.Pengaturan ruang kelas
Dalam persiapan PTM, selain mempersiapkan yang sudah disebutkan di atas, disebut sudah banyak sekolah yang mengatur tata letak ruangan dengan memperhatikan jarak yang disarankan.
Meski demikian sebesar 4,1 persen responden menyatakan belum melakukannya karena akan melakukan pengaturan tata letak menjelang masuknya peserta didik pada kegiatan tatap muka di sekolah, belum adanya instruksi dari dinas pendidikan setempat, sekolah belum melakukan musyawarah dengan komite dan wali murid terkait persiapan tatap muka, rasio antara ruang kelas dan rombel tidak ideal (ruang kelas jumlahnya kurang sedangkan rombel banyak).
Terakhir, ukuran ruang kelas kurang memadai jika diterapkan physical distancing 1.5 meter antar peserta didik.
10.Pembuatan RKAS
Selanjutnya, sebanyak 95,6 persen responden menjawab bahwa sekolahnya telah membuat RKAS terkait pendanaan kegiatan sosialisasi, peningkatan kapasitas, serta pengadaan prasarana sanitasi, kebersihan, dan kesehatan satuan pendidikan.
Hanya sebesar 4,4 persen menyatakan belum melakukannya dikarenakan baru akan dianggarkan pada RKAS tahun 2021, alokasi dana BOS yang terbatas karena jumlah peserta didik yang sedikit, tidak adanya instruksi/arahan dari dinas pendidikan setempat, belum dirapatkan oleh komite sekolah dan dewan guru, sudah terpenuhinya fasilitas terkait protokol kesehatan di sekolah.
Keputusan di tangan pemerintah daerah dan orangtua
Sri menegaskan, kewenangan memutuskan Pembelajaran Tatap Muka ada di pemerintah daerah dan kanwil/kantor Kemenag dengan mendapat persetujuan dari pihak sekolah dan komite sekolah sebagai perwakilan orang tua.
“Untuk itu, di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang akhir-akhir ini sedang mengalami pergerakan tak menentu, tetap harus menjadi perhatian dan kehati-hatian satuan pendidikan apabila akan menyelenggarakan PTM,” papar Sri.
Jangan sampai, lanjut dia, kehati-hatian terkalahkan oleh semangat karena sudah terlalu lama belajar di rumah, sehingga terjadi potensi penyebaran Covid-19 di sekolah.
“Kita semua harus antisipasi jangan sampai kemungkinan buruk itu terjadi,” kata Sri.
Pelaksana tugas (plt) Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ainun Na’im mengatakan, bahwa dua prinsip kebijakan pendidikan di masa pandemi tetap harus dijunjung.
Pertama, memastikan kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai prioritas utama.
Kedua, memperhatikan tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial seluruh insan pendidikan.
“Pemerintah akan senantiasa memantau dan mengevaluasi situasi pandemi agar proses dan manfaat pembelajaran tetap dapat berlangsung,” tutup Ainun.(red)