Oleh
Rizky Muhammad Arsad
Monevonline.com, Lampung – Perkembangan masyarakat tidak bisa lepas dari perkembangan hukum yang ada begitupun sebaliknya. Perubahan hukum dipengaruhi oleh perubahan masyarakat dengan kata lain, hukum dibuat karena kebutuhan masyarakat.
Salah satu perubahan dalam masyarakat yang menuntut adanya peranan hukum yakni tindak pidana oleh anak dan terhadap anak.
Dahulu kejahatan identik dengan orang dewasa. Seiring perkembangan masyarakat, tindak pidana tidak hanya dilakukan orang dewasa namun dilakukan oleh anak-anak atau sebaliknya anak yang menjadi korban tindak pidana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sekaligus membawa perubahan fundamental dalam sistem peradilan anak di Indonesia.
Perubahan fundamental ini dapat dilihat dari diadopsinya konsep diversi dalam penyelesaian perkara anak. Namun, diversi yang dikehendaki dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hanya diperuntukkan bagi tindak pidana dengan kategori tertentu saja, dengan kata lain diversi belum berpihak pada segenap anak bangsa dan masih berlaku diskriminatif.
Adanya pengecualian dan pengkategorian dalam penerapan diversi merupakan bentuk diskriminasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak dilakukan berdasarkan asas non diskriminasi.
Konsekuensi logis dari pengaturan diversi yang semacam ini menggambarkan karakter pembentuk Undang-Undang secara tidak langsung telah membangun polarisasi pemikiran diskriminatif, yaitu dengan menerapkan perlakuan yang berbeda dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum.
Seharusnya penerapan diversi mengacu kepada asas kepentingan terbaik bagi anak guna menjamin perlindungan, martabat dan kesejahteraan setiap anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, perlu dilakukan rekonstruksi penerapan diversi.
Rekonstruksi difokuskan terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2), seyogyanya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) tersebut dihapuskan agar diversi dapat dilakukan untuk setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Rekonstruksi terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) yang memuat pengkategorisasian dalam penerapan diversi, perlu dilakukan agar selaras dengan asas non diskriminatif dalam Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selain itu, tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak sepenuhnya muncul dari kehendak hati nurani anak, melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dirinya seperti faktor lingkungan, pendidikan keluarga, pergaulan, globalisasi, perkembangan teknologi dan sebagainya.
Misalnya saja anak melakukan pencurian untuk makan, anak pelaku terorisme telah terkontaminasi ideologi radikal oleh orang tak bertanggungjawab, anak pengedar narkotika karena tuntutan kebutuhan dan anjuran kriminal dewasa dan sebagainya.
Dengan kata lain anak yang melakukan tindak pidana janganlah dipandang sebagi seorang penjahat, dan perbuatannya jangan dipandang sebagai kejahatan semata melainkan suatu perilaku kenakalan atau deliquency juvenile yang dilakukan anak dalam proses menemukan jati dirinya. Kondisi anak yang demikian ini harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang.
Bagaimanapun anak identik dengan sosok lemah, labil dan perlu pendampingan. Maka dari itu setiap anak yang berkonflik dengan hukum tanpa terkecuali berhak memperoleh diversi dalam penyelesaian perkaranya. (*)